8 April 2012

Cerpen Cinta (Whatever, ILove You)

Oleh : Julia Puspitasari
Pagi ini langit terlihat cerah. Burung-burung bernyanyi riang. Mataharipun menampakan senyumnya. Mereka seperti tahu apa yang ku rasakan. Yahhh.. hanya satu kata yg aku rasakan “bahagia”. Tidak seperti pagi biasanya sekarang aku bangun lebih awal. Ku nyalakan hpku dan kini aku mulai sibuk mempermainkan jari-jariku di atas keypad hp. Tak selang berapa detik hpku bergetar. Sudah kuduga.
“pagi bebz..!” kata seseorang di seberang sana.
“pagi juga cintaa..” jawabku dengan manja.
“nanti aku jemput ya?”
“iyya cintaa, kamu tuh udah tahu nanya.”
“love you bebz..”
“kamu sadar ngga ,sih!! Ini tuh genap yang ke 1420 kalinya kamu bilang kaya gitu.” Kataku mengingatkan. “bosen tau?! Ganti kata-kata yang lain napa ce?”
“loh emangnya salah ya? Kan aku emang sayang sama kamu.” Kata Irwan mengelak. “happy anyversary bebz..!!”
Aku tersenyum, “aku seneng kamu selalu inget hari jadi kita”.
Percakapan demi percakapanpun telah berlalu. Yahhh, ini memang hari jadi kami yang ke 2 tahun. Seperti biasa setiap hari jadi, pasti kami punya acara sendiri. Entah itu jalan atau hanya sekedar makan. Aku tidak pernah menyangka ternyata aku dan Irwan bisa melewati rintangan demi rintangan yang menghadang hubungan kami sampai detik ini. Bisa dikatakan langgeng memang, tapii entahlah.. siapa yang tau? Tapi, aku selalu berharap tak ada satupun hal yang bisa memisahkan kami.
Kudengar suara ketukan pintu. Berkali-kali. Aku terkejut, saking asiknya melamun aku sampai tak mendengar suara ketukan pintu.
“Nayra…!!!” seseorang memanggil namaku. Eaa, dia adalah kaka tersayangku Nayla. Hmm nama kami memang hampir mirip tapi wajah kami sama sekali tidak mirip. Banyak yang bilang aku lebih cantik dari Nayla tapi tidak masalah otak. Aku memang terkenal lebih lamban dari Nayla. Ngheh, entahlah. Yang penting kami saling menyayangi.
Aku beranjak dari tempat tidur lantas kubuka pintu kamarku. “ada apa, La?”
“kamu mau keluar jam berapa?”
“nanti agak siangan lah.. kenapa emangnya?’
“oh, ya udah aku pinjem mobilnya dulu deh. Aku buru-buru nih, mau ketemu Rio”.
“tuh ambil di laci.”
Aku terus sibuk menyisir rambutku. Hari ini aku berniat tampil special untuk Irwan. Ku ambil hp lalu aku mulai sibuk mencari-cari nomor irwan. Setelah ku temukan lantas ku telp dia tapi yang ku dengar hanya “maaf nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan”. Ah! Aku terus mondar-mandir tak karuan. Seharusnya Irwan sudah menjemputku sejak 15 menit yang lalu tapi sampai sekarang aku belum melihat batang hidungnya.
“aduuuh, Irwan mana sih? Ngga biasanya dia telat.” Kataku gelisah.
Terdengar derap langkah kaki mendekatiku. “kenapa ,Ra? Kok gelisah banget??” Tanyanya sembari mengelus-elus rambutku.
“hmm.. mama, Ra lagi nunggu Irwan mam!” jawabku manja.
“emangnya dia bilang mau jemput kamu?” aku hanya mengangguk. “coba kamu telpon”
“udah ,ma. Tapi ngga aktif.” Kegelisahanku semakin menjadi. “aku khawatir ma, takutnya dia kenapa-kenapa”.
“jangan negative thinking gitu dong ,ah, jelek tau.”
Akhirnya aku kembali ke kamar dengan keadaan hati tak menentu. Beberapa kali ku coba menghubunginya tapi tetap tidak ada jawaban. Aku terus berpikir keras. Setelah lama aku berpikir akhirnya ku putuskan untuk pergi ke rumahnya dan mencari tau apa yang terjadi.
“emmm.. Den Irwannyaa..” Bi Nani gelagapan. “aduh, em.. emm…”
“kenapa sih, Bi? Irwan kemana?” ku pertegas pertanyaanku.
“anuuu..” garuk-garuk kepala. “den Irwan pergi ke London nyusul mama sama papanya, Neng.”Aku semakin curiga dengan gerak-geriknya Bi Nani. Aku yakin ada sesuatu yang Bi Nani sembunyikan dariku.
“ngga mungkin, Bi. Tadi Irwan janji mau jemput aku. Masa sih tiba-tiba dia pergi gitu aja?! Tanpa pamit sama aku lagi.” Aku mendengus kesal. “pasti Bi Nani nyembunyiin sesuatu dari aku, kan?”
“eng.. engga kok, Neng. Beneran deh, bibi ngga bohong.”
“kok bisa tiba-tiba gitu sih, bi?” dahiku berkerut.
“katanya, mamanya den Irwan sakit, jadi papanya den Irwan suruh den Irwan kesana.” Jawabnya mantap. Mendengar jawaban bi Nani, hatiku begitu perih. Tak pernah kusangka Irwan pergi saat hari jadi kami, tanpa pamit pula. Aku sedih bercampur heran.
Sudah 3 hari aku mencari tau tentang Irwan tapi tidak ada hasil sedikitpun. Berkali-kali aku Tanya bi Nani namun Bi Nani tetap memberi jawaban yang sama seperti 3 hari yang lalu. Sampai akhirnya kabar buruk hinggap di keluargaku. Kaka tersayangku kecelakaan. Entah kenapa akhir-akhir ini nasib sedang tidak berpihak padaku.
Kulangkahkan kaki melewati koridor demi koridor di rumah sakit. Panic, sedih, gelisah semua bercampur menjadi satu. Perlahan kubuka pintu ruangan dimana kakak ku di rawat. Sudah kuduga kedua orang tuaku telah berada disana sebelum aku datang. Tanpa basa-basi langsung ku peluk Nayla dan kutanyai ia dengan berbagai macam pertanyaan.
“Ra, kaka kamu kan masih shoke. Kok malah ditanya-tanya terus, sih?” bentak papa mengingatkanku.
“tapi kan, pa….” dengan segera mama memotong pembicaraanku. “sudah-sudah, mending sekarang kamu tebus obat kaka kamu. Nih, resepnya.” Sahut mama sembari memberikan secarik kertas yang berisi daftar resep obat Nayla. Aku menurut, dan pergi tanpa sepatah katapun.
Aku berjalan tak bersemangat. Lelah, seperti ada sesuatu yang hilang. Tiba-tiba langkahku terhenti. Aku melihat seorang wanita paruh baya yang kurasa aku kenal. Yah.. tidak salah lagi, aku memang kenal, dekat malah. Itukan tante Erly, mamanya Irwan. Kenapa disini? Bukanya dia sedang sakit? Bla bla bla. Beribu pertanyaan timbul di benakku. Untuk menuntaskan rasa penasaranku dengan segera ku hampiri tante Erly. Kurasakan langkahku begitu berat.
“Tante!” Kusapa ia dengan kening berkerut. Namun, nampaknya ia terkejut dan salah tingkah.
“eh.. em.. eng.. Na, Na, Nayra!” jawabnya gelagapan. Keningku semakin berkerut. “kok disini? Ada apa?”
“harusnya aku Tan, yang Tanya kaya gitu.” Jawabku mantap. “tante ngapain disini? Bukannya tante lagi sakit ya? Oh, ya. Irwan mana, Tan?”
“aduh.. em, eng…..” dia telihat panic. “biar tante jelasin.” Sahutnya sambil menarik tanganku.
Kami duduk di kursi ruang tunggu. Jantungku berdegup kencang menunggu penjelasan dari tante Erly. Dia bercerita sambil menangis. Akupun hanya terdiam tanpa kata. Punggungku mulai panas mendengar ceritanya. Namun aku segera meminta tante Erly untuk menunjukan dimana Irwan.
“Irwan ada di kamar dahlia.” Katanya singkat.
Spontan aku langsung berlari mencari-cari kamar yang dimaksudkan tente Erly. Jantungku kembali berdegup kencang saat kutemukan kamar rawat dengan papan yang bertuliskan dahlia. Ingin segera kubuka pintu kamar itu, tapi keraguan muncul dibenakku. Perlahan kubuka pintu kamar diamana Irwan berada. Sedikit demi sedikit mulai tampak isi dari kamar tersebut. Perlahan air mataku menetes, hatiku seperti tersayat, tubuhku lemas melihat seseorang yang aku cintai terbaring di pembaringan pasien. Kulangkahkan kaki walau terasa berat. Tampaknya dia melihatku. Ada penderitaan terpancar dari sorot matanya. Aku berlari dan langsung memeluknya. Tangisku tumpah di tubuhnya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Menangis, itu yang kubisa. Kutatap ia dengan beribu luka di hati. Iapun ikut menangis. Kami menangis bersamaan. Hanya kata maaf yang kudengar darinya.
“kenapa kamu ngga bilang sama aku, ngheh? Kenapa?” aku langsung memarahinya. Namun, ia hanya tersenyum. Ia seka air mataku. Itulah yang selalu ia lakukan jika aku menangis.
“udah bebz, aku ngga papa kok!” jawabnya mencoba menenangkan hatiku.
“kenapa sih kamu harus bohong sama aku? Pake pura-pura ke London lagi! Aku ngga habis pikir tau ngga?” ujarku tanpa henti.
“em.. em,, aku cuma… emm,..”
“ok! Ok! Tapi beneran kan, kamu ngga kenapa-kenapa?.” Tanyaku masih dengan panic. “ada yang sakit ngga?”
“engga, bebz.. eng,.. em.. aku.. akuu.” Irwan tampak gelagapan.
“cintaaa, ayo donk! Mana yang sakit? Biar aku sembuhin peke jurus cinta.” Aku tersenyum mencoba untuk menghiburnya. Kuraba lengannya dan ku amati bagian tubuhnya untuk memastikan bahwa ia tidak terluka sedikitpun. Sikut kanannya terlihat lecet dan kulihat perban melekat di telapak tangannya. Kemudian aku mulai mengamati kakinya yang tertutup selimut.
“em, bebz,,,” gertaknya ketika aku mulai membuka selimut yang menutupi kakinya. Dia telihat takut. Kemudian kubuka selimutnya. Daaaannnn… tidak ada lecet sedikitpun. Hanya luka lebam dibagian lutut, betis dan mata kakinya.
“kamu kenapa ,sih? Aku kan Cuma liat aja pake takut segala.”
Irwan tampak menghembuskan napas berat. Raut paniknya masih terlihat jelas di mukanya.
“oh ya, aku keluar sebentar ya bebz. Aku sampe kelupaan suruh nebus obat. Aku janji nanti aku balik lagi.” Aku tersenyum lega.
Baru berjalan beberapa langkah dan itupun masih di dalam kamar, tiba-tiba kakiku terasa kaku. Spontan aku berteriak kesakitan.
“awww!! Sakit.” Aku berteriak kecil sembari memegangi kakiku.
Irwan terkejut, sepertinya ia ingin menolongku. Ia terbangun dari tempat tidur mungkin berniat ingin menolongku. Namun, belum sempat ia melangkah, ia terjatuh ke lantai.
“Irwan!” aku terkejut setengah mati.
Entah apa yang terjadi padanya. Hatiku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Ia masih terus berusaha untuk berdiri tapi, batinku mulai menerka-nerka yang terjadi. Ada apa dengan Irwan? Batinku bergejolak. Aku hanya memandanginya dengan tatapan heran bahkan aku tidak menghampirinya.
“aku lupa bebz..” kata Irwan masih dengan terduduk lemah.
“sebenernya kamu kenapa, Wan?” air mataku sudah tak mampu kubendung. Perlahan mulai menetes membasahi pipi.
Irwan hanya menunduk lemah. “dokter bilang, aku lumpuh.”
Kurasakan perih di hati. Dadaku sakit mendengarnya. Sekuat tenaga aku berlari mendekatinya walau kram di kakiku masih terasa. Kupeluk ia, dan kutumpahkan semua air mataku di bahunya. Terlihat jelas bahwa ia menyesali ketakberdayaannya. Merasa bahwa ia tak akan berguna lagi, mungkin tu yang Irwan rasakan.
“liat aku, Ra! Sekarang aku Cuma laki-laki ngga berguna. Bahkan aku ngga bisa ngelindungin kamu, nolong kamu saat kamu jatuhpun aku ngga bisa, Ra!” terlihat jelas penyesalan di wajahnya.
~plak!~
Kutampar Irwan dengan segenap kemarahanku. “kamu tuh apa-apaan sih? jadi karna ini kamu menjauh dari aku?” gertakku parau. Suasana hening seketika. Yang terdengar hanya isak tangisku.
“maafin aku bebz, itu semua aku lakuin karna aku takut kamu kecewa sama aku. Aku takut kamu ngga mau nerima aku lagi. Aku udah ngga bisa ngapa-ngapain lagi bebz. Aku lumpuh! Aku ngga berguna bebz, ngga berguna!” celotehnya tanpa henti, “aku ngga mau kamu nyesel punya cowo kaya aku.”
“kamu bodoh! Kamu kira aku sejahat itu?” aku terus memakinya. “kamu tuh terlalu rapuh tau ngga? Masih banyak orang di luar sana yang nasibnya lebih buruk dari kamu. Bahkan, yang dokter vonis lumpuh permanenpun mereka masih bisa disembuhkan. Kamu bangkit dong! Denger, Wan. Apapun yang terjadi sama kamu, aku tetep sayang kamu.” Ocehku panjang lebar.
“tapi, bebz…” Irwan masih mengeluh.
Kubekap mulutnya dengan telapak tanganku, “Whatever…… I love you.”


                                                        The End

0 comments:

Post a Comment

Let's Leave a Comment Politely, Friends! ^_^