7 April 2012

Cerpen Cinta (Cintaku Gara-gara Bola Basket)


Vinka sibuk menghitung satu persatu benda yang ada dihadapannya. Tujuh, delapan, sembilaann…. Yupz! Ia menjentikan jarinya. Kemudian ia bergegas mencari sesuatu didalam laci almari kamarnya. Ia mendapatkan yang ia cari. Iapun langsung menyelidiki isi didalamnya. Tinggal delapan puluh tujuh ribu empat ratus rupiah yang masih tersisa di dompetnya.
                Vinka membulatkan tekadnya untuk yang kesekian kalinya. Ia segera mengambil jaket dan mulai mengenakannya. Kali ini ia benar-benar harus mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia ingin menggenapkan hitungannya menjadi sepuluh. Ia keluar dari kamarnya dengan mengendap-endap. Ia jinjitkan kedua kakinya agar tidak menghasilkan suara apapun. Tapi, sial ! ia selalu saja ketahuan.
                “mau kemana lagi kamu?” sapa ibunya mengejutkan Vinka.
                “anuuu, emm, eng,” Vinka berpikir keras. Alasan apalagi yang harus ia berikan agar Ibunya percaya.  Ia menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.  “mau ketemu temen, Mam.” Jawabnya mantap.
                “mau ketemu temen kok bajunya casual gitu. Yang cantik dong.” Sanggah ibunya sambil meneliti Vinka dari ujung rambut sampai kaki. “Vinka… kamu kan cewe sayang. Anak perempuan mama satu-satunya. Masa penampilan kamu ogah-ogahan kaya cowok gini, sih?!” omel ibunya dengan nada sedih.
                “mam, please deh. Lagian Cuma mau ketemu temen aja kok. Kenapa harus rapi-rapi sih!”
                “mama tau! kamu bukan mau ketemu temen kan?” ujar ibunya menyelidik. “hmm.. lagi-lagi. Mau berapa banyak sih bola basket yang kamu koleksi? Mama sampe pusing tau ngga, liat anak permpuan mama kaya gini.”
                “mam, dibalik hobi Vinka yang kecowo-cowoan, Vinka juga masih punya sisi feminine kok. Kalo dipersen, mungkin kefemininan Vinka 70% lah.” Kilah Vinka menjelaskan. “udah yam mam, Vinka pergi dulu. Dah, mam! “ pamitnya sambil berlalu pergi setelah mencium punggung tangan ibunya.
                Ibunya hanya geleng-geleng kepala memperhatikan tingkah laku anak gadisnya.


                ****


Vinka sampai di CPM ( toko yang menyediakan perlengkapan olahraga ). Dengan ramah para pramu niaga menyapanya.  Para pramu niaga toko sudah tidak asing dengan wajah Vinka. Vinka memang sudah menjadi pelayan tetapnya sejak sepuluh bulan yang lalu. Bahkan mereka sudah tau apa yang akan Vinka beli disana. Dengan ramah, mereka menawarkan beberapa jenis bola basket keluaran terbaru. Seperti yang selalu Vinka tanyakan jika datang kesana.
                Vinka mengamati setiap label harga yang tertera pada masing-masing bola basket yang dipajang disana. Lagi-lagi Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.  Ia mengeluarkan uang dari saku celananya kemudian menghitungnya sambil mengamati kembali label-label harga yang tertera. Matanya tertuju pada salah satu bola basket yang dipajang disana. Unik! Terjangkau. Walaupun barang lama. Pikirnya.  
                Tak ambil pusing, dengan segera ia mengambil bola basket yang ia suka kemudian menyerahkannya ke kasir. Setelah proses pembayaran usai, Vinka tidak langsung pulang kerumah. Seperti biasa ia datang ketaman tempat biasa ia bermain basket.
                Ia mulai mendribling bolanya daaaannn shoot. Tiba-tiba ia menghentikan permainannya. Ia amati bola basketnya. Ia mendapati gambar sepasang mata disana. Tatapannya cool. Biarpun Cuma gambar. Like a real eyes! Teliti batinnya. Vinka semakin meneliti bola basketnya. Terpampang jelas tulisan bertinta hitam tebal pada bola basketnya. Ia mulai membacanya.
Hai ! gue Olav. Send me back.
Vinka semakin penasaran dengan sipenulisnya. Akhirnya Ia melakukankan ide gilanya. Ia kembali ke CPM. Setelah sampai kembali disana, ia  beranikan diri meminjam spidol hitam permanen pada pramu niaga yang ada disana. Ia mulai menggambar sepasang matanya pada bola basketnya. Para pramu niaga terheran-heran dibuatnya. Kemudian Vinka mulai menulis dibawah tulisan yang diduga tulisan sipemilik asli bola basket yang baru ia beli.
Hai ! gue Vinka. Send me back.
Setelah selesai, Vinka memberikannya pada pramu niaga yang barusan meminjamkannya spidol.
“mba, gue titip ini ya. Tapi jangan dipajang. Kalo misalnya ada orang yang nanyain laku atau belumnya bola basket yang dia jual kesini. Mba Tanya namanya, kalo namanya Olav. Berarti bener, dia pemilik bola basket ini sebelumnya. Trus mba kasihin deh bola basket ini.” Jelas Vinka panjang lebar.
Pramu niaga itu hendak menolak. Namun Vinka sama sekali tidak memberikannya kesempatan untuk bicara. “please, mba. Jangan nolak. Udah ya mba, besok gue kesini lagi.” Ujar Vinka yang langsung pergi begitu saja.
*****

Seorang cowok bertubuh atletis dengan perawakannya yang tinggi tegap dengan kulitnya yang langsat berhenti di depan CPM. Ia masuk, kemudian bertanya pada salah satu pramu niaga disana.
“mba, bola basket yang kemarin……” belum sempat ia menjelaskan, namun pramu niaga itu langsung memotong pertanyaannya.
“mas Olav ya?” serrgahnya yakin.
“kok tau?” Tanya Olav dengan dahi berkerut.
“nih.” Ujar pramu niaga itu sambil memberikan bola basket yang Olav maksud. Tak lupa ia memberi Olav spidol yang sama yang sempat digunakan oleh Vinka juga.
Olav langsung mengerti. Ia segera membaca tulisan yang diduga sebagai jawaban pada bola basketnya. Iapun bergegas membalas kembali pesan pada bola basketnya.

*****

Hari ini genap hari ketiga puluhnya Vinka dan Olav saling berkirim pesan lewat bola basket unik itu. Kini, bola basket itu tidak lagi bertuliskan sporty seperti pada awal Vinka membelinya tapi sudah penuh oleh tulisan-tulisan Vinka dan Olav. Hampir tak bisa terbaca lagi. Akhirnya karena sudah tidak tersedia lagi tempat untuk menulis, mereka memutuskan untuk saling bertemu. Vinka merasa hatinya terpaut oleh sorot mata yang digambarkan Olav. Begitupun dengan Olav, ia merasa terpikat oleh gaya bicara Vinka lewat tulisan itu.
Gue tunggu di SG (Sport Garden)!
Kata-kata itu yang terakhir Vinka tulis pada bola basket unik itu.
Ok! Lo mainin bola basket ini deh, so gue ngga susah nyariin lo.
kata-kata ini juga yang terakhir Olav tulis pada bola basket itu.
Setelah sampai di SG, Vinka terus mendribling bola basket unik itu kemudian shoot. Ia melakukannya berulang-ulang. Kini peluhnya sudah mulai terlihat membasahi poninya. Walaupun rambutnya sudah ia ikat tetap saja gerah datang menyergapnya. Ia terus bermain sambil sesekali menghapus keringatnya yang semakin deras.
Olav berdiri disamping kursi taman dekat lapangan basket. Ia sengaja mengenakan kaos basket oblong yang mana dipunggungnya tertera nama Olav agar Vinka mengenalinya. Olav mengamati gerak-gerik setiap orang yang bermain basket disana. Ia mencari sipemain bola basket uniknya itu.  Ia tertuju pada salah satu cewek manis, berkulit lebih langsat darinya, berambut diikat sepunggung, berpakaian casual, dannn memainkan bola basket unik itu. Yups! Ia tidak salah lagi. Itu pasti Vinka. Duganya mantap dalam hati.
Olav mendekati cewek yang ia duga adalah Vinka. “ekhm!” dehemnya untuk mengalihkan Vinka dari permainannya. Vinka berbalik, ia menatap Olav dalam-dalam. “Vinka, ya?” Tanya Olav to the point.
“Olav, ya?” ujar Vinka balik bertanya.
Olav langsung membuka jaketnya dan memperlihatkan tulisan dipunggung kaos basketnya. Iapun berbalik kembali kemudian mengulurkan tangan. “ya, gue Olavo Rastafara.”
“gue Floy Navinka.” Jawab Vinka sambil menjabat tangan Olav. “bentar-bentar, kayaknya….. gue pernah kenal lo deh.” Terka Vinka sambil mencoba mengingat-ingat nama Olav.
“gue juga kayaknya ngga asing sama nama lo.” Olav juga mulai mengingat-ingat nama Vinka.
Mereka saling terdiam di depan ring basket.
“Floy Navinka………. Gue inget!” seru Olav tiba-tiba. Vinkapun menatap Olav dengan yakin. Mata mereka seolah berbicara.
“mantan!” seru mereka  bersamaan sambil menunjuk. Mereka tertawa. Ternyata mereka baru menyadari bahwa mereka pernah dekat tiga tahun yang lalu sebagai sepasang kekasih. Mereka sempat berpacaran saat mereka duduk dikelas dua SMA. Kini, mereka sudah sama-sama dewasa hingga merekapun tak saling mengenali wajah masing-masing.
“gila! Lo bener-bener berubah ya, Vo!?” ujar Vinka sambil meneliti Olav. “kok, bisa sih gue ngga ngenalin loe?”
“itu karna gue makin cakep kan?” canda Olav membanggakan dirinya. “ lo juga berubah. Makin manis. Yaa….” Perkataanya terputus, matanya sibuk menyelidik pada pakaian yang Vinka kenakan. “walaupun agak tomboy.”
Vinka meninju bagian otot lengan Olav yang kekar. “sialan lo!”
“haha..! now, would you to be my girl friend again?” Tanya Olav serius.
“gila lo. Baru ketemu udah nembak.” Ujar Vinka sambil menjoglo Olav. “bisa sih, tapi itu juga kalo lo bisa menang tanding basket sama gue!” timpalnya sambil kembali memainkan bola basket unik itu.
“Ok! Siapa takut!” tantang Olav yang kemudian mengejar Vinka untuk merebut bola basket uniknya.
THE END
                                                                                                                                                Oleh : Julia Puspitasari

0 comments:

Post a Comment

Let's Leave a Comment Politely, Friends! ^_^