7 April 2012

Cerpen Romantis (Aku Dia dan Bukit Pelangi)


Aku berdiri di atas bukit sambil memejamkan mata. Kurasakan tetesan air hujan membasahi wajahku. Ini adalah gerimis pertama sejak beberapa bulan lalu. Sebuah karunia yang begitu besar dari-NYA. Aku benar-benar menikmati semua ini. Hatiku terasa tentram jika berada di bukit ini. Apa lagi ditambah rintikan gerimis serasa membasuh hatiku yang sedang gersang. Bukit inilah yang selalu menemani kesendirianku.
Kubuka mataku perlahan tapi pasti. Aku tersenyum. Seberkas cahaya indah melintang di hadapanku. Pelangi. Yah, inilah yang aku tunggu-tunggu di saat hujan mengguyur bumi. Tak kulepaskan sedikitpun pandanganku darinya. Aku berjalan sambil terus memandangi pelangi di hadapanku. Tak kusadari keadaan bukit yang agak curam dan guyuran hujan yang menyebabkannya licin.
“aduh!” seruku tiba-tiba saat terpeleset di daerah yang curam. Aku bergelayut dengan berpegangan pada akar pohon yang cukup keras.
Ah, sial! akarnya terlalu licin kena guyuran hujan. Semakin erat aku berpegangan, akar itu malah semakin licin. “Ya Rabb, kuatkan aku.” Doaku dalam hati sambil terus berusaha mengangkat tubuhku ke atas bukit. Namun terlalu sulit.
Aku terus berusaha dengan sekuat tenaga. Tiba-tiba sebuah tangan meraih tanganku. Aku mendongak ke atas.
“ayo! Pegang tanganku kuat-kuat!” serunya sambil berusaha meraih lenganku.
Aku terus menatap lekat matanya sampai aku berada di atas bukit kembali. “fiuh! Akhirnya.” Kami terduduk bersamaan di atas bukit sambil tersenyum. “makasih ya, Ka”
“iya, sama-sama.” Jawabnya sambil tersenyum manis.
Jantungku berdegup kencang begitu melihat senyumnya. Senyum termanis yang pernah kulihat.
“lain kali hati-hati ya, Ly?” ujarnya sambil berlalu pergi.
Aku hanya tersenyum sembari memandangi kepergiannya. Hh! Kenapa sama Ka Fandy? Ngga biasanya dia murah senyum gini. Biasanya dingin banget kaya air es. Hihi. Aku terkikik sendiri sambil geleng-geleng kepala. Upz, aku merasa ada sesuatu yang janggal. Kenapa Ka Fandy bisa ada di bukit ini? Yang tau bukit ini kan cuma aku sama Rasty! Aneh. Aku mengernyitkan dahi. Jika diibaratkan film kartun ada beribu tanda tanya di kepalaku.
*****


“masa sih? Ah, aku ngga percaya..”
“iya, Rastyyyyyy... aku beneran! Tiba-tiba dia datang nyelametin aku. Tapi abis itu dia pergi lagi.” Ujarku begitu semangat.
“mungkin dia takut diintrogasi kalii..”
“hmmm, may be. But, whatever.... yang jelas kemarin aku seneeeng banget.” Aku kembali menerawang kejadian sore kemarin. Sebuah sore yang indah. Bukit, gerimis, pelangi, dan Ka Fandy menjadi satu kesatuan yang indah.
Tingkahku memang selalu seperti ini saat aku membahas Ka fandy. Aku tertarik pada sosoknya yang dingin dan misterius. Selalu membuat orang-orang yang disampingnya penasaran. Lagi-lagi aku tersenyum jika mengingat saat pertamakali aku bertemu dengannya.
.......
Aku dan Rasty sibuk mengamati asesoris kerudung yang unik dan imut. Kulihat satu persatu bandrol harganya. Huh, terlalu mahal untuk kalangan pelajar sepertiku. Aku terus celingak-celinguk mencari sesuatu. Mataku berhenti pada sebuah tulisan “DISKON 50%!”. Spontan aku langsung menarik lengan Rasty dan membawanya ke tempat dimana tulisan diskon itu  dipampang.
“Ras, liat deh! Diskon 50%, gila!” seruku sambil menggandeng lengan Rasty.
“maaf,” ujar seseorang sembari menepuk lembut pundakku.
Aku mendongak. Sontak mataku terbelalak melihat siapa yang aku gandeng. Upz! Aku salah menggandeng orang. Ya Rabb! Haduuuhh, kenapa bisa jadi salah gandeng orang gini, sih? Batinku berkecamuk.
“haduuuh, maaf Ka, Mas, A, Bang, Bli,! Haduuh sekali lagi maaaaaff!” ujarku sambil melepaskan gandenganku dengan dahi berkernyit.
“ngga pa-pa!” sahutnya sambil tersenyum simpul kemudian berlalu pergi.
Tak kuasa kutanggung malu. Mungkin orang-orang melihat mukaku yang merah  semerah tomat. Kupandangi lelaki itu  hingga punggungnya sudah tak terlihat lagi ditelan ramainya pengunjung mall. Cool. Pujiku dalam hati.
“Ully!” panggil Rasty sambil mendekatiku. “kamu kemana aja sih? Aku dari tadi nyariin kamu tauuu!”
“kamu juga kemana??? Aku jadi salah gandeng orang Rastyy.. malu bangeeeett!”  aku bersungut-sungut masih menahan malu.
Kuceritakan semuanya pada Rasty sambil terus berjalan diantara kerumunan orang. Rasty hanya terkikik geli mendengar ceritaku. Begitu kami sampai di kasir, kami langsung baris mengikuti antrian. Persis seperti mengantri BLT. Ckckck. Orang-orang berjejalan memaksa memotong antrian. Tak sedikit pula yang bersungut memaki-maki. Hmmh, pengunjung mall hari ini memang tiga kali lipat dari hari biasanya. Maklum, ada diskon besar-besaran.
Sudah sepuluh menit aku dan Rasty mengantri, namunbelum juga sampai di depan kasir. Kurasakan sakit yang tiba-tiba menjalar di kepalaku. Pandanganku mulai kabur. Semua disekelilingku serasa berputar. Aku mulai sempoyongan.
“Ly, kamu ngga papa?” tanya Rasty sedikit panik.
“akuu,, aku pusing banget, Ras!”
Aku limpung, Rasty menangkap tubuhku dibantu oleh lelaki yang mengantri di belakang Rasty.
Aku masih setengah sadar melihat sekelilingku. Sepertinya aku berbaring disebuah sofa. Ku kerjap-kerjapkan mata.
“udah baikan?” tanya seseorang padaku.
“hmm, lumayan.” Jawabku sambil memijat-mijat dahiku. Spontan aku terbelalak untuk yang kedua kalinya. “hah! Aduh, eng, em, Aa ini aduh Mas iniii aduh Abang iniii... haduuuh!” aku gelagapan.
“aku Fandy. aku lebih tua dari kamu jadi panggil aja Ka Fandy.”  ujarnya datar. “temen kamu lagi bawain minum.”
“lagi-lagi aku salah, ngerepotin orang lagi. Maaf ya Ka.” Aku memelas. “emang aku dimana sekarang?” tanyaku linglung.
“loh, bukannya katanya ini rumah kamu?”
Aku melihat sekeliling. Ternyata benar. Aku sudah berada dirumah. Kami terus berbincang sampai Rasty datang membawakan minum dan tak lama kemudian Ka Fandy berpamitan untuk pulang. Aku begitu terkesan pada sosoknya. Walaupun dari sekian banyak pertanyaan yang kulontarkan untuknya hanya seikit yang ia jawab, singkat pula.
*****

Lamunanku terhenti oleh nyaringnya suara bel pulang. Semua anak bersorak dan langsung berhamburan keluar. Siapa sih yang ngga pengin pulang? Aku langsung membereskan buku-buku yang masih berserakan di atas meja.
“kebanyakan ngelamun siiih, mikirin Ka Fandy, yaaaah?” goda Rasty sambil membantuku membereskan bukuku.
“heee, tau aja.” Aku cengengesan.
Kami berjalan hingga sampai di gerbang sekolah. Langkah kami terhenti begitu di depan pos satpam.
“Neng yang namanya Ully, ya?” tanya Pa Satpam tiba-tiba.
“iya, bener, Pa. Ada apa ya?”
Pa Satpam memberitahukan panjang lebar sembari memberikanku sebuah amplop. Aku dan Rasty saling pandang. Rasa penasaran berkecamuk di hati. Untuk menuntaskan rasa penasaranku, dengan segera ku buka amplop itu.
Aku mengernyitkan dahi, hanya sebuah peta. Aku mengenali setiap arah dan jalan di peta ini. Dibelakang peta itu terdapat tulisan.
Pahami, walau sulit dipercaya.
*****

Aku terus berjalan mengikuti arah di peta ini. Aku benar-benar mengenali jalan ini. Yah, bukit. Arah di peta ini menuju ke bukit tempat aku merefreshkan pikiran.
Kupandangi sekeliling bukit. Sepi, tak seorangpun kulihat di bukit ini. Langit begitu gelap berkelabu. Angin berhembus menyibak rambutku. Rintik hujan mulai terasa membasahi kulit kepala.  Kupejamkan mata, dan mulai merasakan kembali rintik hujan yang semakin kerap.
Kubuka mataku perlahan tapi pasti. Aku tersenyum. Lagi-lagi Seberkas cahaya indah melintang di hadapanku. De javu. Seperti kejadian yang pernah kualami sebelumnya.
“jadilah pelangi di saat hujan, yang selalu membiaskan cahaya indah dalam kehidupan dan mewarnainya saat kehidupan terasa gelap dan tangis menyerta, walau hanya sesaat.” Ujar seseorang yang tiba-tiba muncul di sampingku sambil mengikutiku memandangi pelangi.
“Ka Fandy?” tanyaku heran.
Dia tersenyum simpul seperti biasa. “jadilah pelangi abadi di hatiku.”
~glek~
Aku benar-benar merasa seperti berada di dunia dongeng. Seperti fiktif, tapi ini nyata. Aku memang sulit untuk mempercayai semua ini.
“imppossible!” aku geleng-geleng kepala.
“this is real!” tegasnya masih dingin, datar. “selama ini, aku selalu ngikutin kamu, Ully. Makanya aku tau tempat-tempat yang sering kamu datangin. Aku suka semua tentang kamu. You’re different. Trust me.”
“hmm, lagi nyatain cinta aja ngomongnya tetep dingin gitu.”  Kataku lirih. “pejamkan mata, rasakan tetesan air hujan membasahi wajah, jika hujan ini berhenti maka jawabannya adalah ya. Tapi jika semakin deras, maka biarkan rasa ini mengalir seperti air yang tak pernah meminta sesuatu untuk menampungnya.” Ujarku sambil memejamkan mata.
Ku buka mata, aku kembali tersenyum. Hujan berhenti seketika. Kini, tampak dua pelangi melintang di hadapan kami. Bukit dan pelangi telah menjadi saksi bisu kebersamaan kami.

                                                                                                                                                Oleh : Julia Puspitasari

0 comments:

Post a Comment

Let's Leave a Comment Politely, Friends! ^_^