24 June 2012

Kupasrahkan Hatiku padaMu

Malam bertabur bintang berhiaskan cahaya rembulan. Angin malam berbisik menjamah dedaunan dan dengan sengaja menyibak jilbab merah jambu yang ku kenakan. Suara jangkrik semakin menambah keheningan malam ini. Aku termenung di beranda rumah sambil sesekali menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk sekedar menghangatkan diri. Kueratkan jaket yang terasa semakin menipis terhentak oleh sibakan angin yang menusuk ke pori-pori kulitku. Aku terdiam. Sesekali diiringi desahan sambil berucap Istighfar.
Ku perhatikan daun jambu kering yang berguguran tertiup angin. Begitu indah alam ini. Sungguh, Allah memang tidak menciptakan semua ini dengan sia-sia. Subhanallah. Aku bertasbih sambil memperhatikan ciptaanNYA. Disela-sela kekagumanku, sebuah bayangan berkelebat dari arah semak-semak di samping rumah tetanggaku. Sontak aku terperanjat. Ya Allah! Apa itu? Aku bertanya-tanya dalam hati. Rasa takut menyelinap pada diriku. Namun, aku punya Allah yang selalu bersamaku. Aku tidak boleh takut kepada selain Dia.
“Hey!! Siapa disana?” Kuberanikan diri untuk bertanya pada sosok di balik semak-semak itu yang entah manusia atau bukan.
Jantungku masih berdegup kencang memperhatikan semak-semak yang bergoyang itu. Lama tak ada jawaban. Ku perhatikan keadaan sekitar. Sepi. Tak ada satupun orang yang lewat. Karena suasana yang mencekam akhirnya kupanggil mama.
“mah...!” Panggilku dengan nada setengah takut.
Terdengar suara hentakan kaki mama yang melangkah semakin mendekat. “ada apa sih, Salwa? Teriak-teriak malam-malam begini.” Ujar ibu dengan raut mukanya yang mengerut karena usianya yang semakin rapuh.
“afwan, mah. Ini tadii....” belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba sesosok mahluk muncul di hadapan kami.
Mataku tak sanggup berkedip, mulutku hanya menganga tanpa sepatah katapun. Heran, takut, kaget, bercampur takjub. Subhanallah. MasyaAllah, Astaghfirullah.. Cepat-cepat ku alihkan pandangan.

“Assalamu’alaikum..” Sapa mahluk itu membuat mama tersenyum.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab mama dan aku serempak. “eh, ini kan nak Fauzan anaknya ustad Shidiq ya!” Ujar mama hangat.
Mahluk itu langsung mencium tangan mama dengan hormat. Tak lupa ia merapatkan kedua tangannya dan mengangguk padaku. Kulakukan hal yang sama. Ternyata mahluk ini adalah seorang ikhwan dengan wajah bersih bercahaya dipadu dengan baju qaqa coklat muda dan celana panjang hitam. Wajahnya yang alim dan tatapan matanya yang teduh mungkin bisa saja meluluhkan hati wanita yang melihatnya. Termasuk aku. Pikirku. Astaghfirullah! Ku tepis pikiran itu jauh-jauh.
“iya, betul ummi. Oh, ya. Afwan ya ummi, saya tidak bermaksud membuat keributan disini.”
Ummi??? Ikhwan itu memanggil mama dengan sebutan ummi? Aku terkejut setengah heran.  Bisa-bisanya dia memanggil mama dengan sebutan itu. Bahkan aku saja anaknya sendiri hanya memanggilnya mama.
“iya, nak Fauzan. Tidak apa-apa. Tapi, apa yang sedang nak Fauzan lakukan dibalik semak-semak itu?” Tanya mama sambil sesekali mengerutkan dahinya.
“begini ummi, tadi ketika saya sedang duduk di beranda rumah, saya mendengar suara desisan seperti seekor ular...”
“ular?” aku terperanjat sebelum ia berhasil menyelesaikan ceritanya.
“Na’am, karena khawatir itu benar-benar seekor ular maka tanpa pikir panjang saya langsung menghampiri semak-semak dimana suara desisan itu berasal. Tapi Alhamdulillah, karena yang saya dapati hanya seekor kadal.” lanjutnya diiringi dengan senyum yang membuat wajahnya semakin berseri.
“oh, syukurlah.” Ujar mama lega. Begitupun dengan aku. Ku buang nafas secara perlahan. “aduh! Ummi sampai lupa malah berbincang-bincang disini. Mari mampir dulu ke rumah, nak Fauzan! Abi juga ada di dalam ko.”
“Afwan, ummi. Syukran. Ini sudah terlalu malam untuk bertamu. Takut ada fitnah, ummi. Kapan-kapan saja ummi, pada waktu yang baik untuk bertamu.” Tolaknya secara halus.
“Subhanallah. Tidak menyesal ummi mengenalmu, nak.” Mama semakin terpesona oleh kealimannya.
“baiklah ummi, saya pamit pulang dulu. Takutnya ummi sama abi di rumah mencari saya.” Pamitnya sambil kembali mencium punggung tangan mama.
“ya sudah. Sampaikan salam ummi dan abi disini untuk orang tuamu.”
Ikhwan itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Kemudian berlalu pergi. Lama kelamaan sosoknya yang semakin menjauh hilang ditelan gelapnya malam. Anehnya setelah ia pergipun aku masih berdiri mematung. Mama terheran-heran melihatku.
“Salwa!” sapa mama sembari menepuk pundak ku.
“oh, eh, iya mah..” jawab ku gelagapan.
Mama tersenyum. “jadi begini tah anak mama kalo melihat ikhwan yang alim?” tanya mama menggodaku.
“aah, mama...Salwa kan cuma kagum.” Sahutku manja sedikit cemberut. “udah ah mah, masuk yu.. Salwa udah ngantuk nih!”
Lagi-lagi mama hanya tersenyum, kemudian merangkulku sambil membawa masuk ke rumah.
^_^
Begitulah cerita saat malam pertemuanku dengan Fauzan. Aku hanya bisa terrsenyum perih mengingat malam itu. Malam dimana pertama kalinya aku tertarik pada seorang ikhwan. Malam yang membuat jantungku selalu berdegup kencang selama beberapa minggu itu. Ya. Kejadian itu tepat dua bulan yang lalu. Lama memang.
.........................
Sehari setelah petemuan yang menyisakan tanda tanya itu, aku selalu termenung mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang melintas dipikiranku. Aku terus mencoba mengingat-ingat percakapan antara mama dan Fauzan. Begitu hangat, akrab, bahkan sudah seperti percakapan seorang ibu dan anak. Fauzan memanggilnya ummi, begitupun mama menanggapi Fauzan, mamapun menyebut dirinya sendiri sebagai ummi. Kami memang bertetangga, tapi aku baru melihatnya kali itu. Anehnya, mama seperti sudah mengenal Fauzan dengan akrab.
Akhirnya untuk menuntaskan rasa penasaranku yang terus berkecamuk di hati, kuputuskan untuk bertanya langsung pada mama. Namun mama hanya menjawab pertanyaanku dengan singkat. Tanpa kepastian sedikitpun.
“Fauzan itu anak keduanya ustad Shidiq.” Hanya itu yang kudengar dari jawaban mama.
“tapi kenapa aku baru melihatnya kemarin mah? Bukankan kita bertetangga? Jadi selama ini kemana dia?” tanyaku memberondong.
“karena dia baru pulang setelah menyelesaikan S1nya di Ain Syams Mesir.”
“mama bahkan tau kalo ia baru pulang dari Mesir? Mama kenal deket sama Fauzan? Salwa liat, percakapan mama sama Fauzan semalam begitu hangat dan akrab. Apa mama sudah lama mengenalnya?”
“sudahlah, Salwa. Hal sepele begini saja ko dibahas. O ya, sebentar lagi mama ada liqa’ di rumah Bu Nurul. Mama siap-siap dulu ya.” Begitulah mama. Beliau selalu memanfa’atkan liqa’ sebagai alasan jika aku mulai memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan. Memang tidak seharusnya aku begitu. Tapi aku hanya ingin menuntaskan rasa ingin tahuku saja..
Ah! Memang aku yang salah. Terlalu berlebihan. Tidak seharusnya aku terlalu memikirkan seorang ikhwan secara mendalam. Dosa. Tapi seberapa kuatpun kutepis gejolak ini aku malah semakin kalut dalam rasa ini. Astaghfirullah.. Astaghfirullah.. Astaghfirullah! Berulang kali ku ucap istighfar. Namun, gejolak ini malah semakin dahsyat kurasakan. Ada apa sebenarnya?
^_^
Berulang kali ku bolak-balik halaman dari Al-Qur’an yang sedang ku baca. Ya Rabb.. ada apa sebenarnya denganku? ­Astaghfirullah.. Entah kenapa sejak pertemuanku dengan akhwat itu membuat perasaanku menjadi semakin tak menentu. Ya Rabb, jauhkan rasa ini dari hatiku jika ini adalah sebuah dosa. Namun, Ya Rabb.. jika aku jatuh hati maka jagalah hatiku padanya agar aku tidak berpaling daripada hatiMU.
Kucoba menenangkan hati dengan keluar masuk kamar kecil untuk berwudhu. Berharap dengan wudhuku ini bisa memalingkanku dari gejolak rasa ini yang entah apa jenis dari perasaan ini. Karena aku baru merasakan hal ini untuk yang pertama kalinya.
“Fauzan!” Panggil abi sambil menghampiriku yang masih duduk di lantai beralaskan sajadah.
“iya, abi!” Jawabku yang kemudian berdiri menyambut abi dan mencium punggung tangannya.
Abi terdiam seketika. Entah apa yang abi pikirkan. Matanya menatap tajam ke dalam mataku. Aku hanya bisa menunduk dan berpaling dari tatapan abi. Sepertinya abi mulai mngetahui kegundahanku.
“ada apa anak ku? Abi melihat ada kegundahan dalam sorot matamu. Tidak seperti biasa tanganmu juga terasa dingin begitu menyalami abi.” Tanya abi menyelidik.
Sontak aku langsung melihat kedua tanganku kemudian menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku. Memang benar kata abi. Tidak seperti biasanya tanganku terasa dingin tak menentu. Sebenarnya ingin sekali aku menjawab pertanyaannya, “benar abi, hati saya sedang gundah setelah saya bertemu dengan akhwat itu. Mungkin saya telah jatuh hati pada akhwat itu, abi.” Namun, jawaban itu hanya bergema di hati.
“tidak apa-apa, abi. Mungkin ini karena tadi Fauzan bolak-balik ke kamar kecil untuk berwudhu.” Jawabku sekenanya.
Lagi-lagi abi diam beberapa saat. Mencoba menelusuri ruang batinku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada anak keduanya ini.
“baiklah kalo kamu tidak mau bercerita, tapi jika suatu saat kamu membutuhkan abi untuk mencurahkan perasaanmu maka temuilah abi. Abi siap mendengar ceritamu dan siap memberimu solusi jika abi mampu.” Jawab abi menenangkanku.
Abi memang seorang kepala keluarga yang baik. Mampu mengerti kegelisahan yang menyerbu hati salah satu dari anggota keluarganya. Bahkan ia mampu menenangkan, memberi solusi, serta memberi nasihat yang baik bagi anggota keluarganya. Abi jugalah yang menjadi panutan bagi aku dan akhunku. Akhun (kakak laki-laki) ku bahkan sangat menjadikan beliau sebagai idola keduanya setelah Nabi Muhammad SAW.
syukran, abi..” sahutku sambil menunduk.
“oh iya, abi sampai lupa. Nanti sore ba’da Asar kita akan bersilaturahmi ke rumah tetangga kita, Ustad Yusuf dan Bu Huuriyah. Kamu siap-siap ya, pakai pakaian yang rapi dan bersih.” Aku mengerutkan dahi. Seperti tahu maksudku, abi langsung melanjutkan kata-katanya. “Hanya untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama muslim saja ko.” Lanjutnya sembari tersenyum. “ya sudah, abi tinggal dulu ya.” Ujarnya sambil menepuk-nepuk pundak ku dan berlalu pergi.
Silaturahmi? Kenapa hanya ke rumah Ustad Yusuf saja? Bukankah di lingkungan ini juga banyak ustad-ustad yang lain? Pikiranku bercabang, semakin berkecamuk tak menentu. Bersilaturahmi ke rumah Ustad Yusuf itu artinya aku akan menemui akhwat itu. Jantungku semakin berdegup kencang. Ya Allah, berilah aku ketenangan hati dan jiwaku.
~tok tok tok~
Terdengar suara pintu kamarku di ketuk. Aku melangkah gontai berusaha meraih gagang pintu. Kubuka pintu. Ah, ternyata ummi.
“loh, ummi bukannya ada liqa’ di rumah Bu Nurul?” tanyaku begitu ummi tepat berada di hadapanku.
“iya, sebentar lagi. Ummi cuma ingin memastikan kalo abi sudah memberitahumu.” Jawab ummi dengan wajah berseri.
“oh, perihal silaturahmi ke rumah Ustad Yusuf ya, ummi?”
“syukurlah kalo kamu sudah tau. Pake baju yang rapi ya? Ingat! Ba’da asar loh.” Ujar ummi mengingatkanku. “ya sudah, ummi pergi liqa’ dulu ya.” Pamit ummi diiringi langkahna yang semakin menjauh.
Hanya bersilaturahmi saja kenapa harus diingatkan segala?
Sudahlah, mungkin ummi takut aku lupa. Segera aku mandi sore setelah kutunaikan Shalat Dzuhur dan kulanjutkan dengan tilawatil Qur’an sambil menunggu waktu Asar tiba.
^_^
Siang ini aku sibuk berdandan menghias diriku dengan riasan sederhana. Bahkan sama sekali tak terlihat menggunakan makeup. Inilah aku, Salwa. Aku sama sekali tidak suka dandan sampai berlebihan. Ku kenakan jilbab biru muda yang sepadan dengan warna bajuku. Entah ada acara apa sampai-sampai mama menyuruhku berdandan untuk siang menjelang sore ini. Sebagai seorang anak, aku hanya bisa mematuhi perintahnya.
Aku telah usai berdandan. Kini tinggal menanti tibanya waktu Asar yang hanya tinggal beberapa menit lagi. Kuputuskan untuk menunggu Asar sambil tilawatil Qur’an. Aku tertegun khusyu memperhatikan arti dari ayat Al-Qur’an Surat Asy-Syura:83 yang aku baca. Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku Hikmah (agar aku menjadi orang yang bijaksana) dan pertemukanlah aku dengan orang-orang yang shaleh”.
Tak berapa lama seseorang mengetuk pintu kamarku dan masuk sambil mengucap salam. Oh, itu mama.
“kamu sudah dandan, Salwa?” tanya mama dengan kening berkerut.
“udah ko mah, ini.. Salwa pake baju ini.” Jawabku sambil berdiri memperlihatkan baju yang ku kenakan. Kulihat ada raut heran di wajah mama. “kenapa mah? Apa ada yang salah dengan dandanan Salwa?”
Muka mama masih terlihat serius. Kemudian ia tersenyum. “hmmh, anak mama yang satu ini memang tidak berubah. Bahkan sudah dewasapun masih saja menggunakan dandanan sederhana. Tidak seperti gadis-gadis lain yang sering mama lihat. Kamu selalu terlihat anggun walau tanpa makeup.” Ini untuk yang kesekian kalinya mama memujiku. “Terimakasih Ya Rabb, KAU telah menganugerahkanku bidadari secantik ini. Semoga KAU selalu melindunginya dari segala macam godaan ataupun bujuk rayu syaiton di dunia yang fana ini.” Do’a mama sembari menengadahkan kedua tangannya ke atas.
“Amin ya Rabb..” ku dekati mama kemudian mulai memeluknya. “tapi mama terlalu berlebihan. Oh iya mah, papa mana? Ko dari tadi Salwa ngga liat papa?”
“papa lagi di mesjid, sayang.” Ucapnya sambil membelai kepalaku yang terbalut jilbab.
Mendengar jawaban mama aku hanya bisa meng’oh’kan tanpa berkata-kata lagi. Itulah papa, selalu mencoba menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim tepat pada waktunya dan tepat pada tempatnya selagi papa masih sehat. Aku jadi teringat kata-kata papa saat aku melarangnya ke mesjid karena ia sedang sakit.
“Papa ngga apa-apa ko, Salwa. Ini hanya sakit biasa, toh Papa masih bisa jalan kan? Apalagi jarak dari rumah ke mesjid kan cuma dua ratus meter. Sakit bukan berarti menghalangi niat kita untuk berjalan ke rumah Allah. Hanya karena sakit bukan berarti kita harus bersantai ria menanti pertolongan Allah. Selagi kita masih bisa berjalan, selagi kita masih bisa berdiri, bahkan selagi kita mempunyai niat maka jika Allah menghendaki maka itu tidak akan menjadi masalah yang berarti.”
Papa memang sosok yang bijaksana bagiku. Sama bijaksananya dengan mama. Aku bersyukur mempunyai kedua orang tua seperti mereka.
Tak terasa waktu Asar telah berlalu. Shalat Asarpun telah aku tunaikan berjama’ah dengan mama. Kini aku dan mama sibuk menyiapkan hidangan untuk tamu yang katanya akan bersilaturahmi ke rumah kami.
“mah, emangnya siapa sih yang mau bersilaturahmi kesini?” tanyaku membuka percakapan.
Mama hendak menjawab, namun terdengar suara orang mengucap salam dari arah pintu depan.
“Assalamu’alaikum.” Ucapnya lantang.
Aku mengenali suara itu. Siapa lagi kalo bukan papa. Suara dari seorang pemimpin keluarga yang bijaksana. Tapi sepertinya papa tidak sendiri. Terdengar suara orang berbincang di depan pintu rumah kami.
“Wa’alaikumsalam..” serempak aku dan mama menjawab bersamaan.
Mama melangkah pergi untuk membukakan pintu. Setelah pintu dibuka terdengar gelak tawa menggelegar di ruang tamu.  Aku masih sibuk membuatkan teh manis hangat untuk disajikan kepada mereka. Usai sudah aku membuatnya, ku tata di atas baki, sejurus kemudian aku bersiap melangkahkan kaki untuk menjamu tamu-tamu mama dan papa.
~glek~
Kutelan liurku sendiri begitu aku melihat siapa yang ada di ruang tamu. Ustad Shidiq? Bu Alfiah? dan..... lagi-lagi aku terenyak kaget. Jantungku kembali berdegup kencang. Tanganku gemetar, begitupun dengan baki berisi beberapa cangkir teh manis hangat juga turut bergetar. Sebisa mungkin kucoba untuk mengusir ketegangan ini. Tapi... Astaghfirullah! Dia... ikhwan itu... Fauzankah?
Aku masih berdiri mematung dekat ruang tamu. Mencoba menenangkan diri. Aku kembali dikagetkan oleh panggilan mama yang sedari tadi mengetahui kediamanku.
“Salwa!” panggil mama yang masih duduk dekat papa di hadapan tamu-tamu itu. “Kesini nak.”
Kubuang nafas secara perlahan. Bismillah. Seruku dalam hati. Akupun melangkah sebagaimana mestinya. Kuletakkan cangkir-cangkir itu di meja. Kemudian ku cium punggung tangan Bu Alfiah, dan ku rapatkan kedua tangan ini sembari mengangguk pada Ustad Shidiq dan Fauzan.
Ustad Shidiq dan Bu Alfiah tersenyum melihatku. Senyum yang menenangkan jiwa dan hangatnya tatapan mereka menghilangkan rasa gundah di hati. Namun, saat kutatap Fauzan sekilas terlihat bibirnya sibuk berdzikir. Dua detik kemudian ia bangkit dari menunduknya dan kami beradu pandang. Dengan sigap aku langsung menundukkan muka. Begitupun dengannya. MasyaAllah. Hatiku terus berdesir tak menentu. Perasaanku semakin tak karuan.
Akhirnya Ustad Shidiq mulai mengutarakan tujuannya bersilaturahmi kesini.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...” ucapnya yang langsung disambut dengan jawaban salam kami. “jadi, seperti yang sudah kami rencanakan. Kedatangan kami adalah untuk mempererat tali persaudaraan sesama muslim.”
Papa hanya mengangguk-angguk menanggapi pernyataan Ustad Shidiq. Fiuh! Syukurlah. Ternyata ini hanya pertemuan biasa untuk mempererat tali persaudaraan. Aku membatin. Lega rasanya.
“namun, alangkah baiknya jika hubungan persaudaraan ini dieratkan dengan ikatan suci antara anak-anak kita yang sudah sama-sama dewasa.” Lanjut Ustad Shidiq yang langsung membuat jantungku kembali berdetak cepat. “jadi, langsung saja bahwa maksud lain dari kedatangan kami kesini... Bismillahirrahmanirrahiim yaitu untuk melamar putri dari Ustad Yusuf yang tak lain adalah nak Salwa untuk dijadikan seorang istri bagi anak kami.”
~deg!!~
(Fauzan)
Abi ingin melamar Salwa untuk siapa? Untukku kah? Ya Rabb.. Jika memang Salwa adalah jodohku maka tautkanlah hatinya untukku tanpa berpaling dari hatiMU. Batinku terus berkecamuk mendengar pernyataan abi. Entah aku senang atau apa. Yang jelas hati ini terus berharap semoga memang dugaanku benar. Semoga Abi memang melamar Salwa untukku.
(Salwa)
Ya Rabb! Apa ini? Apa yang baru saja aku dengar dari Ustad Shidiq? Apakah ia melamarku untuk Fauzan? Subhanallah... wahai Pemilik hati yang kekal, jika memang KAU menakdirkan Fauzan sebagai jodohku maka satukanlah hati kami dengan segenap cinta yang tetap berpegang teguh padaMU. Kupejamkan mata dan terus berdzikir diantara percakapan demi percakapan yang dilontarkan oleh kedua orang tuaku juga orang tua Fauzan.
“Alhamdulillah..” sahut papa mengucap syukur. “kedatangan Ustad Shidiq beserta keluarga sekalian kami terima dengan senang hati. Dan kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena Ustad beserta keluarga berkenan untuk melamar Salwa putri kami. Namun dengan segala kerendahan hati, kami selaku orang tua hanya bisa memasrahkan keputusan ini kepada putri kami. Karena dialah yang akan menjalaninya, dan kami menghargai semua keputusannya. Jadi, bagaimana menurutmu, nak?”
Papa begitu bijaksana. Sehingga ia rela menyerahkan segala keputusannya padaku. Dalam hati ingin sekali kujawab, “Ya Pa, atas izin Allah yang Maha Kuasa.. dan dengan menyebut nama Allah, Salwa terima lamaran ini jika memang ini jalan yang Allah berikan untuk Salwa. Semoga Allah meridhai kita semua. Amiin.”
Aku terdiam beberapa lama. Bibir ini terasa kelu dan kaku untuk mengucapkan kalimat yang sedari tadi bermunculan dari hati.
(Fauzan)
Ya Allah, dzat yang maha mengetahui segala isi hati manusia. Berikanlah Salwa kemudahan untuk menjawab lamaran ini. Bukakanlah hatinya untukku. Sehingga ia mampu memberi jawaban yang sesuai dengan harapan hamba. Semoga ia memang bidadari yang KAU ciptakan untukku. Untuk mengarungi bahtera cinta yang suci yang berlabuh di lautan cintaMU. Tapi, jika memang Salwa bukan jodohku, maka lapangkanlah hati ini untuk menerima semua keputusan pahit yang hendak ia sampaikan pada kami. Semoga ia menemukan seseorang yang telah KAU tulis sebagai jodohnya. Seseorang yang Shaleh yang mampu menjaga kesucian cintanya untukMU. Aku terus menunduk. Tak berani aku mengangkat wajah untuk menyaksikan dan mendengarkan jawaban dari Salwa.
“Oh ya, nak Salwa.” Potong abi di sela-sela keheningan ruangan yang menanti jawaban Salwa. “kami tegaskan sekali lagi, bahwa kami melamar nak Salwa untuk putra kami yang pertama Arkaan Faishal Khalil.”
Ya Allah, benarkah yang abi ucapkan tersebut? Abi ingin melamar Salwa untuk akhunku Arkaan? Aku nyaris tak berdaya mendengar pernyataan abi kali ini. Otot-ototku terasa melemah seketika itu juga. Benar-benar tak sangggup menahan kenyataan ini. Kuatkanlah aku Ya Rabb, sungguh ini semua atas kuasaMU. Sesungguhnya aku tak mampu menghindar dari takdirMU. Tiba-tiba rasa haus melanda tenggorokanku. Perlahan kuambil cangkir berisi teh manis hangat yang tadi disediakan Salwa untuk kami. Aku mengangguk pada mereka sebagai permintaan izin untuk meminum apa yang mereka hidangkan. Bibir ini bergetar hebat. Seakan tak sanggup menahan gejolak ini. Tapi di sisi lain aku bersyukur, karena setidaknya calon suami Salwa adalah akhunku sendiri yang aku tahu betul sifatnya. Mungkin aku bisa merelakannya dengan akhunku. Namun yang membuatku berat adalah jika suatu saat ia tinggal dengan akhunku di rumah kami. Itu artinya aku akan selalu melihat dia bersama akhunku. Aku akan melihat kebersamaan mereka di depan mataku sendiri. Itu artinya aku akan selalu melihatnya dalam kegetiran hatiku.
Ya Rabb.. kuatkan aku untuk menghadapi kenyataan ini. Semoga Salwa bisa memberikan jawaban yang terbaik yang sesuai dengan isi hatinya.
(Salwa)
Aku terdiam beberapa saat. Mencoba meyakinkan apa yang kudengar barusan. Tapi aku yakin, aku tidak salah dengar. Apa yang baru saja diucapkan oleh Ustad Shidiq membuat hatiku nyaris tersayat. Perih di batin ini benar-benar tak bisa tertahankan. Sulit untuk menerima kenyataan bahwa Ustad Shidiq melamarku bukan untuk Fauzan, tapi untuk Arkaan. Kakak Fauzan yang setahuku dia sedang bersekolah di Ain Syams juga. Dan kini ia hampir menyelesaikan study S2nya disana. Aku memang tahu semua tentang dia. Karena mama selalu menceritakannya padaku. Namun, walaupun aku tahu semua tentangnya, aku sama sekali belum pernah melihat wajahnya.
Kini aku benar-benar dilanda kebingungan yang amat sangat. Jawaban apa yang harus aku beri pada mereka? Sedangkan ini tak sesuai dengan harapan dan kemauan hatiku. Kupejamkan mata, kurasakan peluh dingin membanjiri dahiku. Ya Allah, berikan aku kekuatan untuk menerima semua kenyataan ini. Berikan aku kemampuan untuk menjawab lamaran ini dengan tanpa menyakiti hati seorangpun hambaMU. Kuserahkan semua rizki, hidup dan matiku, serta jodohku hanya padaMU. Aku yakin bahwa KAU telah menyiapkan sesuatu yang indah untukku di balik pilihan yang KAU berikan padaku. Kali ini kupasrahkan hatiku padaMU. Mantapkan hatiku Ya Rabb.
Semua masih diam menanti jawabanku. Suasana sedari tadi hening. Hanya suara orang yang berlalu lalang di luar yang hanya terdengar. “Bismillahirrahmanirrahiim... dengan menyebut nama Allah, saya ucapkan syukran karena Ustad dan keluarga telah berkenan untuk melamar saya sebagai istri dari putra Ustad sendiri, namun saya mohon maaf sebelumnya.” Aku diam sejenak. Kutundukkan kepala. Mencoba mengatur napasku yang terasa berat. “saya tahu dan saya yakin bahwa jodoh saya telah digariskan oleh Allah Swt. Dan saya tahu hukum menyegerakan pernikahan sangatlah baik agar terhindar dari jerat nafsu syaiton. Dengan segala kerendahan hati, saya ingin mengajukan satu permintaan pada Ustad dan Bu Alfiah.”
“baik, apa itu nak?” tanya Bu Alfiah dengan mimik penasarannya. Kulihat semua yang ada di ruangan merasa tegang menanti permintaanku.
“saya akan sangat bahagia jika Ustad dan Bu Alfiah berkenan untuk memberi saya waktu untuk meyakinkan diri saya agar tidak ada penyesalan dikemudian hari. Mohon beri saya waktu selama tiga hari. Saya perlu shalat Istikharah untuk meminta petunjuk pada Dzat yang Maha Kuasa. Dan saya ingin memantapkan diri untuk ini.” Kembali aku terdiam. “semoga Ustad dan Bu Alfiah berkenan menerima dan mengabulkan permintaan saya.”
Papa dan mama tersenyum. Begitupula dengan Ustad Shidiq dan Bu Alfiah. dengan lapang, akhirnya mereka menyetujui dan mengabulkan permintaanku. Aku hanya bisa tersenyum dibalik ratapan luka hatiku.
^_^
................................
Dua bulan sudah cerita itu berlalu. Walau dulu aku sempat tak percaya dengan jawabanku sendiri. Walau dulu aku merasa telah menzalimi diriku sendiri dengan jawaban yang benar-benar jauh dari keinginan hatiku. Tapi berkat kekuatan yang Allah berikan padaku, akhirnya aku mampu berdiri hingga detik ini bahkan di tempat yang mungkin didambakan oleh semua orang.
Kini aku merasa menjadi orang yang sangat bahagia diantara orang-orang yang berdatangan menyalami kami. Ya, kami. Kami duduk di singgasana suci bak Raja dan Ratu. Banyak dari segelintir orang yang menyalami kami mengatakan bahwa mereka iri melihat kami yang mereka anggap kami adalah pasangan serasi. Seorang akhwat yang shalehah bersanding dengan seorang ikhwan yang shaleh. Begitu kata mereka.
Kini aku tidak pernah menyesali jawabanku saat lamaran itu dulu. Akupun bisa menerima ungkapan hati dari ikhwan shaleh yang sekarang duduk bersanding denganku yang kini juga telah sah sebagai suamiku.
***
.........................................
Aku sempat tak percaya dengan mimpi-mimpiku dua bulan yang lalu. Mimpi yang membuatku ingin cepat-cepat pulang menemui abi dan ummi di Indonesia. Mimpi yang selalu mempertemukanku dengan bayangan seorang akhwat yang bahkan aku tidak tahu siapa dia. Mimpi yang hadir setelah abi dan ummi memberitahuku bahwa mereka akan meminangkan seorang akhwat shalehah untukku.
Memang tak masuk akal. Aku selalu memimpikan bayangan akhwat itu bahkan dalam mimpiku terkadang hanya terdengar suara seorang akhwat yang merdu saat tilawatil Qur’an. Subhanallah! Aku begitu terpesona dan jatuh hati pada suara seorang ahwat yang datang di mimpiku itu. Tapi, Ya Allah, aku tidak boleh membiarkan rasa yang menggebu-gebu ini agar tidak menjadi nafsu belaka. Aku harus bersabar atas rasa ini. Ya Rabb, jika sekiranya KAU memang menakdirkan akhwat itu untukku maka biarkanlah aku melabuhkan hatiku padanya tanpa berpaling dari kasihMU. Aku percaya bahwa KAU telah mengatur jodohku. Itulah do’a yang kupanjatkan saat aku shalat istikharah untuk menemukan petunjuk dariNYA.
Benar saja. Do’a ku telah terjawab. Maha Suci Allah, yang telah menakdirkan bidadari shalehah ini untukku. Sehari setelah kepulanganku ke Indonesia, abi langsung mengajakku untuk bersilaturahmi ke rumah Ustad Yusuf yang tak lain adalah ayah dari akhwat itu. Aku telah mengetahui bahwa akhwat itu telah menerima pinanganku walaupun ia belum pernah melihatku. Abi pernah memberitahuku jawabannya, ia bilang akhwat itu yakin bahwa Allah telah menakdirkannya untukku. Saat itu aku hanya tersenyum mendengar cerita abi. Subhanallah. Kini akupun yakin bahwa ialah jodoh yang digariskan Allah untukku.
Aku begitu takjub saat aku bertemu dengan akhwat itu dalam acara silaturahmi keluargaku dengan keluarganya. Sosoknya begitu mirip dengan bayangan yang muncul di mimpiku saat aku masih di Ain Syams. Suaranya yang lembutpun serupa dengan suara akhwat yang bertilawatil Qur’an dalam mimpiku. Saat itu pula, kami langsung menentukan tanggal akad nikah yang rencananya akan dilaksanakan bersamaan dengan walimatulnya.
Tiba saatnya kini kami bersanding di singgasana cinta dengan perasaan bahagia. Tak pernah terbayangkan aku bisa duduk di samping seorang akhwat shalehah yang banyak diidam-idamkan oleh para lelaki shaleh. Terimakasih ya Allah.. KAU telah memperkenankanku melabuhkan hati dan cintaku untuknya. Semoga kami bisa menjalani bahtera cinta ini dengan tetap berpegang teguh padaMU. Semoga kamipun bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Amin Ya Rabb. (Arkaan Faishal Khalil)
............................................
Hatiku mungkin sesak. Entah apa yang kurasakan sekarang. Haruskah aku bahagia dengan pernikahan akhunku? Atau haruskah aku menderita di atas kebahagiaan akhunku? Kucoba tenangkan jiwa dan pikiranku. Kutepis kuat-kuat asa yang masih bersemayam di palung hati. Ya Allah, lapangkan hatiku untuk bisa menerima kenyataan ini. Kuharap semoga KAU memberikanku jodoh yang sama shalehahnya dengan Salwa. Jika ini memang kehendakMU, kupasrahkan hatiku padaMU. Semoga akhun Arkaan dan Salwa akan selalu menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Amin. (Fauzan Adwa’ Daffa)
.............................................
Subhanallah. Begitu bercahayanya wajah ikhwan yang kini telah menjadi suamiku ini. Terlihat sekali jiwa kepemimpinannya. Senyumnya sangat bersahabat. Persis seperti namanya Arkaan Faishal Khalil yang berarti “pemimpin yang bersahabat juga sebagai pemisah antara yang haq dan yang batil”. Pujiku dalam hati memperhatikan kealimannya. Aku bersyukur betapa Allah telah menjodohkan kami untuk menjadi pasangan yang melabuhkan cinta hanya kepadaNYA. Semoga pernikahan ini diridhai oleh Allah Swt dan menjadi berkah. Amin. (Salwa Hauraa Muslimah)
Ya Allah,
jadikanlah pernikahan kami pernikahan yang barakah
pembuka pintu rahmat bagi kami, keluarga kami dan ummat
penyempurna keislaman kami
tungku tempat kami menempa sabar dan syukur
sekolah tempat kami belajar menjadi dewasa
jalan kami menggapai cinta-Mu 
 Arti Kata                    :
1.       Afwan                     : Maaf
2.       Akhun                     : Kakak kandung laki-laki
3.       Akhwat                   : Perempuan
4.       Ba’da                     : Setelah
5.       Ikhwan                   : Laki-laki
6.       Liqa’                      : Pertemuan
7.       Syukran                  : Terimakasih
8.       Tilawatil Qur’an      : Membaca Al-Qur’an dengan irama yang indah
Alhamdulillah Selesai.
                                                                             Julia Puspitasari

0 comments:

Post a Comment

Let's Leave a Comment Politely, Friends! ^_^