7 April 2012

Cerpan Romantis (Samudra Cinta)

Berjalan di tengah padatnya arus kota, ini yang sekarang Dave lakukan. Mengamati setiap gerak-gerik manusia disekitarnya sambil sesekali tersenyum. Sepertinya sangat sulit dibayangkan ia bisa kembali ke tanah air tercintanya setelah begitu sibuknya ia bekerja di negeri orang. Sukses karena kemahirannya dalam bidang arsitektur memang membuatnya kebanjiran job. Hampir tiap menit sekali hpnya berdering. Dave tak pernah merasa terganggu oleh dering hp yang setiap kali mengharuskannya untuk menerima telepon ataupun sekedar membalas sms. Kenapa harus merasa terganggu? Toh lewat dering itu, berapapun uang yang ia butuhkan pasti bisa cair dengan sesegera mungkin, pikirnya dalam hati. Ide-idenya yang cemerlang dalam menyusun skema demi skema arsitekturnya membuat ia semakin dikagum-kagumi banyak orang.
Bukan hanya kecerdasannya yang orang kagumi, tapi juga karena ketampanan dan sosoknya yang supel. Siapapun orang yang berada di dekatnya tidak akan merasa canggung karena sikapnya yang terbuka dan menerima apapun yang orang katakan baik itu pujian, kritik ataupun hanya sekedar saran. Namun sayangnya karena saking sibuk dengan pekerjaannya ia tak pernah berpikir untuk mencari seorang pendamping hidupnya. Sampai-sampai orang disekitarnya pernah menganggapnya gay. But, whatever. Ia tak pernah menanggapinya dengan serius.
Pernah suatu ketika ia merasakan jatuh cinta, namun mungkin dewi asmara sedang tidak berpihak padanya. Jelas cintanya ditolak karena ia mencintai orang yang salah. Itu mungkin pengalaman yang buruk bagi seorang pemuda berusia 25 tahun karena pernah mencintai perempuan yang telah bersuami. Gara-gara itulah sampai sekarang ia belum memikirkan sosok wanita yang cocok untuk mendampingi hidupnya. Yang sekarang ia pikirkan adalah sosok seorang wanita  yang melahirkannya dengan memperjuangkan hidup dan matinya yang begitu menyayanginya. Alasan inilah yang membawanya kembali ke tanah air ini. Ia kembali tersenyum setelah memikirkan ibunya. Berbagai macam oleh-oleh sudah ia persiapkan untuk ibunya.
Langkah kakinya semakin ia percepat. Kepalanya sibuk menengok kanan kiri mencari sebuah taksi. Wajahnya semakin ceria setelah matanya menangkap sebuah taksi yang mungkin akan melewatinya. Begitu taksi berhenti di hadapannya dengan sesegera mungkin ia membuka pintu taksi itu dan siap untuk duduk di dalamnya. Namun tanpa ia sadari seorang perempuan juga sibuk membuka pintu taksi yang hendak ia tumpangi. Dan mereka duduk di dalam taksi bersamaan. Mereka saling berpandangan sampai akhirnya mereka saling beradu mulut memperebutkan taksi yang mereka tumpangi.
“heh.. yang nyetop taksi ini kan aku! Kok kamu yang masuk sih?” celoteh perempuan itu.
“loh, kamu ini apa-apaan? Eh, dari semenjak taksi ini masih jauhpun aku udah ngelambain tangan buat nyetop taksi ini.” Cerocos Dave ngotot.
“hallooooow,.., kamu tuh yang apa-apaan?! Orang aku duluan kok yang nyetop taksi ini. Kalo ngga percaya Tanya aja tuh pa supir.” Ujar perempuan itu tak kalah ngotot, “lagian, kamu kan cowo, kok ngga mau ngalah sih? Eh, dimana-mana ladies first tau! Cowo harus ngalah.” Supir taksi hanya geleng-geleng kepala melihat perdebatan mereka.
“hmmh,” dave menarik napas panjang tanda bahwa ia mengalah. “ok, ok! Aku tau itu. Ladies first.” Jawabnya singkat. Ia mengakui kekalahannya. Namun Dave tidak segera turun dari taksi, ia malah memperhatikan perempuan itu. ‘hm, interesting girl’ ia membatin. Ada rasa kagum dari sorot matanya.
“ya udah atuh. Ngapain lagi kamu masih disini?” oops, logat sundanya keluar. “cari taksi lain dong! Aku buru-buru nih, jangan bikin orang jadi darting (darah tinggi), deh.”
“a, em.. iya-iya, ini juga mau turun kok. Biasa aja dong, Non!”dengan terpaksa Dave turun dari taksi. Perempuan itu merasa menang. Ia tersenyum kecil.
*******
Taksi itu berhenti tepat di depan rumahnya. Ia injakan kaki mulusnya di depan pintu gerbang rumahnya sembari tersenyum. Semua orang yang ada disana terkagum-kagum melihat parasnya yang cantik.  Namun, raut wajahnya berubah seketika itu juga. ‘Bendera kuning? Kenapa orang-orang itu memakai baju hitam?’ hatinya bertanya-tanya.  Kepanikan mulai merasuki dirinya.  ‘ada apa ini?’
Mang ujang tukang kebunnya menyapa perempuan itu yang merupakan anak dari majikannya yang sedari tadi hanya terpaku menatap orang-orang di depan rumahnya.
“non Catlyn.” Sapa mang ujang.
“eh, mang ujang.” Jawabnya singkat. “mang, ini ada apa sih? Kok rame gini? Bendera kuning ini buat apa sih, mang? Trus ngapain orang-orang pake baju item? Siapa yang berduka mang?” cerocos Catlyn dengan nada panic.
“anu non, nyonya…” kata mang ujang terbata-bata, “maksud saya mamanya non Catlyn anuuuu… meninggal pada saat non Catlyn sedang dalam perjalanan.” Tambah mang Ujang dengan rasa iba.
                “apa?” Tanya Catlyn dengan nada tak percaya. Semua benda yang ditenteng Catlyn termasuk koper yang dibawanya sontak terjatuh. Seperti tersambar petir di pagi hari tubuhnya langsung lemas.  “mang Ujang ini ngga mungkin.” Teriak Catlyn histeris.
                Catlyn berlari melewati kerumunan orang-orang berbaaju hitam. Ia menghentikan langkahnya di ambang pintu. Melihat mentarinya kini tak lagi bersinar menyambutnya, sinarnya tak lagi terpancar. Tak terasa air matanya menetes di pipi mulusnya. Kini ia melihat sang mentarinya terbaring di tengah-tengah orang yang sedang mengumandangkan ayat-ayat suciNYA. Ia kembali berlari menghampiri yang telah terbaring lemah tak bernyawa. Ia menangis histeris sambil meneriakan nama sang mentarinya.
                “mama….. jangan tinggalin Lylin !” ia benar-benar tepukul melihat kenyataan yang begitu pahit baginya. “mamaaaaa banguuun! Lylin ngga mau sendiri, mamah harus temenin Lylin… maaa, banguuuun!” ia terus menjerit seolah mamanya masih hidup.
                Catlyn baru bisa berhenti menangis setelah keluarganya datang dan menenangkannya. Bahkan Catlyn sempat pingsan setelah merasa kelelahan menangis.
*****
                Matanya sembab, hidungnya merah. Tisu-tisu beserakan di kamarnya. Ia terduduk di tempat tidurnya sambil memeluk lutut. Melamun, mungkin itu yang bisa ia lakukan sekarang. Mengingat pengorbanan-pengorbanan dan jasa-jasa mamanya yang ia rasa tidak bisa membalasnya sampai kapanpun. Kini mungkin ia hanya bisa mengikhlaskan kepergiannya dan mendoakannya agar ia tenang di sisiNYA.
                Hari berganti seiring berjalannya waktu. Catlyn semakin bisa mengikhlaskan keepergian mamanya. Kini ia mulai menjalani aktifitasnya seperti biasa. Namun, ia memutuskan untuk tidak kembali bekerja lagi di Perth. Mungkin ini memang keputusan yang berat baginya karena ia harus rela kehilangan pekerjaan yang digiurkan oleh orang banyak. Ia bahkan rela kehilangan tunangannya yang disana karena Catlyn sudah memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Perth. Itu semua tak sebanding jika ia harus meninggalkan kota kenangan bersama ibunya.
                Catlyn kini mulai mencari pekerjaan lagi, melamar kesana kemari dan akhirnya karena ijazah dan kemampuannya ia diterima di perusahaan tas sebagai marketing. Ia sangat bahagia walaupun hanya sebagai marketing Karena dari sini ia bisa memulai semuanya dari nol kembali.
*****
                “Dave, bukannya sekarang loe ada janji sama client ya?” ujar sahabat Dave mengingatkan.
                “Masyaalloh! Gue lupa! Oh my God…” Dave mulai panic.
                Dave memang terkadang akan menjadi seorang pelupa jika ia terus disibukan dengan pekerjaannya. Malah suatu hari ia pernah lupa menemui Clientnya. Namun tidak ada yang mengingatkan seperti sekarang. Lebih parahnya lagi, saat itu clientnya sengaja membatalkan kontrak kerja mereka karena kelupaannya. Sejak kejadian itu Dave meminta sahabatnya untuk selalu mengingatkannya jika Dave mempunyai janji dengan client.
                “hah! Kambuh lagi deh tuh sifat pelupa loe!” sambar Irfan seperti sudah biasa dengan sifat pelupa Dave.
                “thanks, sob! Lagi-lagi loe udah ngingetin gue.” Tangkas Dave sembari menepuk pundak Irfan dan kemudian berlalu meninggalkan sahabatnya termangu sendiri.
                “ah! Dasar si Dave. Kebiasaan deh ninggalin gue sendiri.” Ujar Irfan geleng-geleng kepala.
                Ketika Dave sampai di tempat yang ia janjikan dengan clientnya, ia melihat clientnya sudah menunggu disana. Bapak Naryan, begitu ia mamanggil clientnya. Dave langsung menghampirinya dan membuat alasan sejadi-jadinya.
                “maaf, Pak. Tadi saya terjebak macet.” Dave berjabat tangan dengan Pak Naryan. Alasannya memang sudah umum dan sering digunakan oleh orang-orang yang terlambat. Beruntung, Pak Naryan bisa mengerti dan memaafkan keterlambatannya.
                “memang, ya beginilah Jakarta. Kalo ngga macet bukan Jakarta lagi donk!”
                Perbincangan demi perbincanganpun mereka lalui. Terkadang disisipi gelak tawa. Memang seputar bidang arsitektur yang hendak ia buat. Tapi tidak begitu formal sehingga mereka bisa menikmati perbincangannya dengan santai.
                Setelah pertemuan itu berakhir merekapun saling berpamitan untuk pulang. Dave sengaja pulang membelakangkan diri karena ia ingin sedikit menikmati secangkir cappuccino icenya sambil merefres otaknya yang kelelahan karena terlalu lama bekerja. Ia melihat sekelilingnya yang ramai, memang resto ini selalu ramai oleh pengunjung. Bahkan tak pernah sepi oleh hiruk pikuk kegiatan pengunjung. Sepertinya disana-sini semua meja sudah penuh oleh pengunjung. Namun Dave melihat salah satu meja yang hanya ditempati oleh seorang pengunjung selain dirinya. Seorang perempuan sedang menunduk lesu. Dave memperkirakan usianya sekitar tiga tahun lebih muda darinya. Ia sibuk mengira-ngira siapa perempuan itu, dan kenapa dia seperti kehilangan semangat? Duduk menunduk seorang diri tanpa teman. Termangu di tengah keramaian resto. Ingin rasanya Dave menghiburnya namun ia tak mengenali perempuan itu. Ia hanya melihat punggungnya. Takut dikira SKSD, pikir Dave.
                Dave terus memperhatikan perempuan itu dari kejauhan. Tiba-tiba ia melihat segerombolan pria menghampiri meja perempuan itu.
*****

                Catlyn merenung. Ia ingat sosok ibunya yang selalu menemaninya di resto. Kini ia hanya bisa berhayal, berharap yang tak pasti. Sekarang  ia sedang terduduk tak bersemangat di tengah riuhnya suasana resto petang itu. Walaupun disana ramai namun Catlyn tetap merasa kesepian. Hatinya tetap hening. Kemudian ia melihat segerombolan pria hendak menghampiri mejanya. Mungkin ingin numpang duduk, karena meja lainnya sudah penuh. Pikir Catlyn.
                “hai, manis. Boleh kan kita duduk disini?” sapa salah satu dari segerombolan pria tadi yang kemudian langsung saja duduk di samping Catlyn. 
                Catlyn hanya tersenyum. Mereka malah tertawa. Catlyn merasa bahwa ia harus pergi dari tempat itu. Selain karena takut tapi juga karena ia merasa bosan setelah berjam-jam berada disana.
                “permisi!” ujar Catlyn berpamitan hendak meninggalkan mejanya.
                Namun, salah satu pria dari genk itu malah menghalau Catlyn untuk pergi. Ia menarik tangan Catlyn. “hey, hey, cantik. Mau kemana ngheh?” halau pria itu dengan nada menggoda. “kan ada kita-kita disini, kok malah pergi?”
                “takut kali dia, man!” timpal salah satu temannya yang kemudian diikuti gelak tawa pria tak beretika itu.
                Catlyn meringis. Keningnya berkerut, rasa takutnya semakin menjadi. “maaf, tolong lepaskan tangan saya. Saya tidak punya urusan dengan kalian.” Kilah Catlyn masih dengan sopan. Namun sepertinya ulah pria itu semakin menjadi.
                “oh… dia berani, maaan! Mau nentang kita?” kata pria tadi lagi-lagi diikuti gelak tawa teman-temannya.
                Kini semua orang menatap kearah terjadinya perdebatan itu. Mereka hanya memandangi Catlyn. Tersirat rasa kasihan dari wajah mereka. Namun, mereka tak bertindak. Mungkin mereka takut. Catlyn merasa risih karena dipandangi banyak orang. Kekhawatirannya juga semakin memuncak. Ia berharap ada seseorang yang peduli padanya dan segera menghalangi niat busuk dari para pemuda brengsek itu.
                “sekali lagi saya mohon, tolong lepaskan saya!” gertak Catlyn sambil merintih kesakitan karena genggaman kuat dari pria tadi.
                Di meja lain seorang pria merasa kasihan melihat Catlyn tak ada yang menolong atau sekedar melerai pertikaian itu. Ia bbangkit dari mejanya kemudian berjalan menghampiri tempat pertikaian itu terjadi. Semua orang memandangnya. Ia bahkan tak peduli dengan tatapan orang-orang disana. Hal yang ingin ia lakukan sekarang adalah melerai pertikaian itu.
                “maaf, permisi. Kalo saya boleh tau ada apa ya?”  Tanya seorang pria yang tak lain adalah Dave.
                Sepertinya Catlyn mengenali Dave, namun ia hanya bisa diam. Ia seperti ketakutan.
                “hey, hey! Rupanya ada yang mau ngebela cewe ini, maaan!” ujar salah satu pria dari gank itu. Mereka mulai Gerang.
                “sepertinya tadi saya lihat anda sedang menggoda perempuan ini.”
                “hey, siapa elo? Ngga usah ikut campur! Hai cantik, siapa gerangan laki-laki yang sok-sokan menjadi pahlawan kesiangan mu ini ngheh?” ia memaki sambil menyentuh dagu Catlyn. Catlyn tampak menghindar namun semakin keras ia melawan, tangan lelaki itu semakin berkeliaran.
                “heh bajingan! Lepaskan perempuan itu atau saya akan bertindak lebih lanjut!” ancam Dave.
                Pertentangan berlanjut semakin seru dengan adanya aksi pukul-memukul satu sama lain. Catlyn panik dan mencoba meminta tolong pada orang-orang yang ada disana. Sampai akhirnya perkelahian itupun dilerai oleh beberapa pengunjung resto. Bahkan mereka sempat mengancam genk itu jika perkelahian ini diteruskan. Lelaki-lelaki dari genk itupun mundur karena memang mereka terbukti bersalah.
                “terimakasih pak.” Ujar Catlyn pada pengunjung yang melerai perkelahian itu.
                Setelah suasana resto kembali tenang, Catlynpun cemas dengan keadaan sipenolong itu yang tak lain adalah Dave. Ia melihat wajah Dave lebam karena terkena tonjokan dari laki-laki brengsek tadi. Tidak tinggal diam, Catlyn langsung meminta waitress resto itu untuk mengambilkan air es dan obat luka lainnya.
                “emm.. makasih ya?” Catlyn membuka percakapan dengan Dave. “gara-gara aku, kamu jadi babak belur gini.” Tambah Catlyn sambil mengobati luka Dave setelah waitress tadi memberikan apa yang dipesan Catlyn.
                “sama-sama” jawab Dave singkat. Ia mencoba menahan rasa perih diwajahnya. “ngga seharusnya lagi kamu ngobatin aku sampe kaya gini.” Tambah Dave setelah merasa risih karena dipandangi banyak orang.
                “lho, kan gara-gara aku juga. Jadi ngga ada salahnya dong kalo aku ngobatin kamu.” Jawab Catlyn tidak memperdulikan orang-orang yang sejak tadi memperhatikan mereka. “oh ya, kayaknya kau pernah liat kamu deh! Tapi dimana ya?” Catlyn terlihat sibuk mengingat-ingat dimana dia pernah melihat Dave. “aku ingat sekarang, kamu kan cowok yang waktu itu keukeuh rebutan taksi ma aku?”
                Dave tampak berpikir sejenak, “ooh, jadi kamu cewek yang banyak cingcong itu? Udah cerewet, ngeyel lagi!” umbar Dave mengingat kembali kejadian saat mereka saling merbutkan taksi. “tapi kok tingkahnya yang sekarang beda ya sama tngkahnya waktu pertama kali ketemu. Sekarang kayaknya lebih pendiem deh.” Ejek Dave yang langsung membuat Catlyn menundukan kepala.
                “ngheh..” Catlyn membuang napas pilunya. “keadaan sekarang beda dengan keadaan yang dulu. Semua berubah memilukan setelah aku berdebat sama kamu.”
                “maksud kamu, ada kejadian memilukan setelah kamu sampai di rumah?” Tanya Dave seolah mengerti.
                “aku.. aku kehilangan ibuku sebelum aku sempat menyapanya dan memperlihatkan hasil dari kerja kerasku.” Catlyn mulai bercerita kejadian memilukan itu. “Ibuku meninggal saat aku masih di jalan menuju ke rumah.” Tangis Catlyn pecah seketika.
                Dave merasa bersalah karena pertanyaannya yang membuat Catlyn menjadi sedih. “sory.” Ujar Dave meminta maaf. “oh ya! Ngomong-ngomong kita belum kenalan nih, kok malah udah ngobrol-ngobrol gini.” Timpal Dave mencoba mengalihkan pembicaraan.
                “iya, aku sampe lupa. Pake curhat segala lagi, padahal kan belum kenal.” Kata Catlyn menyadari. “aku Catlyn.” Sapanya sambil menjulurkan tangan.
                “Dave.” Jawab Dave sambil menerima uluran tangan Catlyn.
                Perbincanganpun berlanjut sampai mereka berpisah untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Tidak lupa mereka bertukar nomor hp untuk saling menghubungi. Sepertinya ada sesuatu hal yang menggelitik hati mereka. Mungkin itu cinta.
*****
                Begitu Dave sampai di rumah, ia langsung menuju kamarnya dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia terlihat senang walau rasa lelah memburunya. Pertemuannya yang kedua dengan Catlyn memang benar-benar memberikan kesan yang special. Dave terus tersenyum sendiri seperrti orang gila. Memang benar, mungkin ini bisa disebut gila cinta.
                Dave teringat bahwa Catlyn sempat memberikan nomor handphonenya pada Dave. Ia langsung berpikir untuk meneleponnya, tapi kemudian ia urungkan niatnya itu. Dave menimang-nimang handphonenya.
                “call ngga ya? Call, ngga, call, ngga, call, ngga, call….” Dave terdiam sejenak. Kemudian ia memutuskan untuk menelepon Catlyn. Terdengar RBT I Miss You dari Zaskya Sungkar feat Irwansyah. Dave tertegun, kenapa RBTnya bisa sama dengan RBT yang dipakai Catlyn? Ia membatin.
                “Halo, Assalamu’alaikum. Ada yang bisa dibantu, Dave?” terdengar suara diseberang sana. Sepertinya Catlyn telah menyimpan nomor Dave di handphonenya.
                Jantung Dave berdegup kencang mendengar suara lembut di seberang sana. Keringat dingin mulai membanjiri dahinya. Hingga terdengar kembali suara Catlyn memanggil-manggil dirinya.
                “Dave? Halo Dave?! Ada yang bisa Lilyn bantu?” ujar Catlyn mempertegas pertanyaannya.
                “oh, eh, iya.. maaf, Lilyn itu siapa ya?”
                “itu aku Dave…” sahut Catlyn lembut. “aku kalo di rumah namanya Lilyn. Terserah Dave sih, mau manggil Lilyn taw Catlyn.” Terangnya menjelaskan.
                “ooh, ya ya ya. Emm, gini Lyn, besok ada acara ngga? Kalo ngga, Dave mau minta bantuan Lilyn.”
                “emmm..” Catlyn berpikir sejenak. “sebenernya besok Lily nada acara sih.. tapi acaranya sorean lah, sekitar jam empat.”
                “bagus kalo gitu, Dave mau minta bantuan Lilynnya sekitar jam enam pagi lah..” Dave terlihat bersemangat. “ gimana? Bisa, ngga?”
                “kok, pagi banget?! Emangnya Dave mau minta bantuan apa dari Lilyn?”
                “ia, emang pagi. Dave cuma minta Lilyn kasih masukan-masukan tentang bidang arsitektur yang mau Dave rancang.”
                “ooh, boleh. Ketemuan dimana nih?”
                “masalah ketemuan, ntar Dave jemput Lilyn aja. Jam enam, ya?”
                “Ok. Ya udah, Lilyn tunggu ya? Assalamu’alaikum..”
                “Wa’alaikumsalam..” Dave terdiam sejenak, kemudian ia melompat-lompat kegirangan. “yes, yes, yes.. yuhuuu!!!”
                Ketika Dave masih melompat-lompat, hpnya berdering. Ternyata dari teman kantornya yang kemarin Dave ajak untuk membantu memberi masukan dalam bidang arsitekturnya.
                “Dave, besok jadi ngga? Jam enam?” Tanya Reyna teman sekantornya.
                “eh, Rey. Maaf ya? Ngga jadi. Heheee… aku mau ngajak seseorang yang special. Sekali lagi maaf ya, Rey?” ujar Dave berbasa-basi.
                “yaaah, Dave. Kok ngga jadi, sih?” sepertinya Reyna kecewa, “ya udah, deh. Good luck eaw?!’
                “ok! Thanks dah ngerti.”
                Dave sempat merasa bersalah pada Reyna. Tapi rsa iru tertepis oleh rasa senangnya karena Catlyn. Ia berharap hari besok akan menjadi hari terindah dalam hidupnya. Dave kembali membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia segera memejamkan mata dan mulai terlelap seiring mimpi yang membawanya lelap.
*****

                Mereka sampai di Rumah Bunga. Dave sengaja memilih tempat ini karena ia menganggap rumah ini selalu menjadi inspirasinya. Banyak hal yang bisa ia jadikan inspirasi dari Rumah Bunga ini. Selain dari tempatnya yang indah, suasana disana juga sangat berbau alam.
                Dave mengajak catlyn duduk di saung. Dari sana mereka bisa melihat rumah-rumah penduduk, karena Rumah Bunga ini bertempat di atas bukit. Burung-burung bernyanyi ria seiring suasana hati Dave saat itu. Matahari belum begitu tampak pagi itu. Catlyn sangat menyukai suasana seperti ini. Bunga-bunga tertanam hampir diseluruh sudut saung.
                “ya ampun, Dave.. indah banget tempatnya…” ujar Catlyn takjub melihat keindahan rumah bunga.
                “aku seneng kalo kamu suka tempat ini.  Itu berarti kita bakalan lebih mudah ngedapetin inspirasi buat desain arsitekturku.” Sahut Dave sambil menatap dalam-dalam mata Catlyn.
                Mereka terus berbincang hingga matahari perlahan mulai tampak menambah keceriaan hari mereka. Terkadang Catlyn tertawa lepas melihat tingkah Dave yang konyol. Ini adalah kali pertamanya Catlyn bisa tertawa lepas kembali setelah kepergian mamanya. Catlyn merasa kini harinya bisa berjalan normal kembali karena kehadiran Dave dalam hidupnya.
                Beberapa bulan kemudian hubungan mereka semakin akrab. Mungkin bisa dibilang seperti seorang sahabat. Namun, orang-orang menilainya berbeda. Banyak orang menganggap mereka berpacaran  karena kedekatan mereka. Teman-teman Davepun ikut bahagia melihat Dave yang kini sudah mulai memikirkan pasangan hidupnya.
                “Dave.” Sapa Catlyn saat makan siang dengan Dave.
                “ya, kenapa Lyn??” Tanya Dave sambil mengunyah makan siangnya. Ia hentikan sejenak proses mengunyahnya untuk mendengarkan pembicaraan Catlyn.
                “Lilyn punya kabar baik plus kabar buruk.” Ujarnya tampak serius.
                “so, apa itu? Serius banget sih? Mau ngatain cinta ya????” goda Dave disela-sela keseriusan Catlyn.
                “Dave, Lilyn serius nih…. Jangan becanda dooong!!!” Catlyn sedikit kesal dengan candaan Dave.
                “Dave juga serius kok.. duarius malah..”
                “Dave???!!!!” Catlyn mulai membentak.
                “oke, oke. Ada kabar apa nona manis?” Davepun mengalah untuk mengakhiri candaannya.
                Catlyn terdiam sejenak, kemudian ia mulai berbicara. “Lilyn ditugasin bos buat ke Australy nemuin client. Tepatnya ke kota Perth.” Ujarnya sedih.
                “Loh! Bagus dong.. berarti kamu dipercaya sama bos kamu. Jarang-jarang loh ada pegawai baru yang langsung dipercaya buat nemuin client penting, di Australy lagi.” Jawab Dave mendukung, “Tapi kok Lilyn malah sedih, sih?”
                Catlyn tampak membuang napas. Kemudian mulai melanjutkan pembicaraannya lagi. “ia, Lilyn sedih karena… lilyn bakalan lama disana.”
                “Berapa lama sih? Emangnya mau setahun?? Paling juga seminggu, ya kan?”
                “kamu salah Dave, Lilyn…. Lilyn disana selama dua tahun.” Lilyn terdiam. Begitupun Dave, bagaikan gelegar petir di siang bolong Dave langsung lemah dan speechless. “bayangin Dave, kita ngga akan ketemu selama dua tahun!”
                “em.. tapii… kita masih bisa telpon-telponan kan?” timpal Dave mulai serius.
                “entahlah Dave, Lilyn bingung. Kayaknya Lilyn ngga sanggup kalo harus pisah sama Dave. Dave terlalu penting buat Lilyn, bahkan Davelah yang bikin Lilyn bisa hidup lagi kaya dulu. Lilyn bener-bener ngga sanggup Dave…” catlyn mulai menangis. Bibirnya bergetar hebat.
                Begitupun dengan Dave. Butiran air bening mulai menetes dipipi Dave. Ternyata Lilyn juga merasakan apa yang ia rasakan selama ini. Namun Dvae tak ingin terlihat cengeng. Ia dekatkan kursinya dengan kursi yang diduduki Catlyn. Iapun mulai merangkul Catlyn dan menghapuskan air mata Catlyn. Catlyn tumpahkan semua kesedihannya dibahu Dave. Mungkin itu yang bisa membuatnya lebih tenang. Dave mmbelai rambutnya dengan lembut. Selembut ketulusan hatinya dalam mencintai dan menyayangi Catlyn.
                “Dave juga ngga mau jauh-jauh dari Lilyn. Apalagi harus kehilangan Lilyn selama dua tahun. Asal Lilyn tau, Dave sayang banget sama Lilyn. Bukan hanya sayang sebagai seorang sahabat, tapi lebih Lyn. Lebih dari itu. Terlalu sulit kalo Dave harus ngungkapin ini semua. Dave yakin, Lilyn pasti ngerti apa yang dirasain Dave.” Ujarnya panjang lebar.
                Catlyn menatap dalam-dalam mata Dave, ia melihat ada ketulusan dari sorot mata Dave. Matanya kembali berkaca-kaca mendengar kata-kata Dave.
                “Lilyn juga Dave, Lilyn sayang sama Dave lebih dari sayang seorang sahabat.”
                Mata Dave berbinar. Ia bahagia dengan apa yang diucapkan Catlyn barusan. Cintanya tak lagi bertepuk sebelah tangan. Namun disaat Dave mendapatkan cintanya, ia juga harus rela kehilangan cintanya saat itu juga.
                “Lyn, kalo memang kita berjodoh, Dave yakin, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali dua tahun yang akan datang.” Kata Dave menenangkan Catlyn.
                Catlyn pulang dalam keadaan hati yang luruh. Tak lagi bersemangat seperti semula. Ia merasa separuh jiwanya akan kembali hilang seiring rencana kepergiannya ke Perth.
*****

                Jam menunjukan pukul 4.30 pagi, Catlyn sibuk mengepak barang-barang yang hendak ia bawa ke Perth. Ia merasa ada sesuatu yang wajib ia bawa selain perlengkapan ibadah. Matanya mencari-cari sesuatu itu. Matanya berhenti pada sebuah pas foto yang bergambarkan dirinya dengan seorang pria yang tak lain adalah Dave. Dalam foto itu, mereka tampak bahagia menikmati suasana rumah bunga. Serutas senyum mengiasi wajah mereka. Catlyn tersenyum kecil memandangi foto itu. Namun senyum itu pudar seketika. Segera ia masukan foto itu kedalam kopernya.
                Di tempat lain, Dave sibuk membungkus kado untuk diberikan kepada Catlyn sebagai kenang-kenangan. Matanya melirik kesebuah foto bergambarkan dirinya dengan perempuan yang ia cintai. Haruskah ia merelakan perempuan yang ia cintai itu pergi.  Walau hanya sesaat?? Tapi Dave merasa sesaat itu adalah waktu yang terlalu lama jika ia harus menunggu.
                Mereka berdua sudah sampai di bandara Soekarno-Hatta. Catlyn sengaja mengambil jam terbang pagi agar ia bisa istirahat sejenak sesampainya di Perth. Dave tampak menggenggam erat tangan Catlyn seakan tak mau melepaskannya. Pemberitahuan akan segera berangkatnya pesawat yang akan dinaiki Catlyn terdengar begitu menggema di telinga mereka berdua.
                Catlyn menatap Dave. Mereka saling menatap. Tanpa Catlyn sadari air matanya menetes membasahi pipinya. Dave yang melihatnyapun langsung menghapus air mata itu. Ia mencium kening Catlyn dengan lembut hingga beberapa saat kemudian terdengar kembali pemberitahuan  keberangkatan pesawat yang akan Catlyn naiki. Kemudian Davepun segera melepaskan bibirnya dari kening Catlyn. Mereka kembali saling pandang.
                “Catlyn,” sapanya mengawali pembicaraan. “sekali lagi Dave Cuma mau bilang kalo Dave akan selalu mencintai dan akan selalu menunggu Catlyn sampai Catlyn pulang.” Terlintas raut tak rela dari wajah Dave.
                Lagi-lagi Catlyn hanya bisa menitikan air mata.
                “Catlyn juga cinta sama Dave.” Jawabnya sambil memeluk Dave.
                Dave balas memeluknya. “Lyn, kalo kita memang berjodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali dua tahun yang akan datang.” Ujarnya sambil memeluk Catlyn.
                Catlyn melepaskan pelukan Dave, “LiLyn harus pergi, Dave.” Katanya parau.
                “pergilah! Bawa kebahagian saat Lilyn kembali kesini.” Ujar Dave sambil menghapus air mata Catlyn.
                Dave mengantarkan Catlyn sampai ke pintu masuk.  Ia terus memandangi Catlyn yang melangkah semakin menjauh. Tak kuasa Dave membendung air matanya. Ia tak peduli orang-orang memanggilnya cengeng. Ia hanya berpikir bahwa menangis itu adalah hal yang wajar, tidak hanya perempuan yang bisa menangis. Lelakipun bisa menangis jika sesuatu menyangkut persoalan hatinya.
*****
               
                Genap satu setengah tahun sudah Dave mengarungi kesendiriannya tanpa Catlyn. Hari-harinya terasa sepi walaupun kini ia telah mendapatkan sahabat baru sebagai pengganti Catlyn untuk sementara waktu. Tapi sayangnya, hal itu sama sekali tak mengurangi rasa kesepiannya. Dave lebih banyak termenung disaat-saat waktu senggangnya.
                “oi!” sapa Carolla mengejutkan Dave.
                Ini dia sahabat Dave yang baru. Carola. Ia selalu mencoba mengisi hari-hari Dave yang kelabu. Mencoba membuat Dave tersenyum. Mereka bersahabat sejak satu tahun yang lalu. Kini Carolla merasa perasaannya pada Dave bukanlah perasaan untuk seorang sahabat. Ia mencintai Dave walaupun ia tahu cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.  Bahkan ia tak pernah meminta Dave untuk membalas perasaannya. Biarlah rasa cintanya terus mengalir seperti air yang tak pernah meminta apapun untuk menampungnya. Yang ia pikirkan sekarang adalah kebahagiaan Dave. Sekalipun hatinya harus merasakan sakit setiap kali Dave bercerita tentang Catlyn tapi cintanya untuk Dave tak akan pernah memudar. Itu janjinya pada dirinya sendiri.
                “eh, kamu La. Kenapa sih selalu datang tiba-tiba?” Tanya Dave sambil mengelus dadanya.
                “yaaa, inilah aku. Selalu datang tiba-tiba, bahkan tanpa diundang.” Candanya renyah. “lagian kenapa sih? Siang-siang bolong gini malah ngelamun? Ntar ayam tetangga pada mati loh kalo kamu ngelamun terus..” lagi-lagi Caroll melontarkan candaanya.
                Dave tersenyum. “mana buktinya? Ini, ayam tetangga masih hidup malahan lagi ngobrol sama aku.” Jawab Dave yang langsung membuat Caroll melotot padanya.
                “Daaaaave…” ujar Caroll sambil berbalik membelakangi Dave. Ia berpura-pura marah pada Dave.
                Dave merasa kata-katanya menyinggung Caroll. “oo.. em.. ok! Sorry! Please jangan marah dong.. kan Cuma bercanda.” Pinta Dave memelas. “ok! Sekarang kamu boleh minta apa deh, tapi kamu jangan marah lagi.” Sogok Dave seperi anak kecil.
                Caroll berbalik. “hmm, boleh juga. Aku Cuma minta kamu lunch bareng aku.”
                “Cuma itu?” Tanya Dave meremehkan.
                “yaaa..” carol berjalan sambil menarik dasi Dave. “tapi kamu yang traktir sepuasnya.”
                “what?” sergah Dave sambil mengikuti langkah Caroll.
                Mereka terus berjalan menuju rumah makan didepan kantor mereka. Mereka tak peduli orang-orang memandangi mereka dengan tatapan aneh. Carol menarik dasi yang dikenakan Dave dan menuntunnya seperti peliharaannya.
*****

                “Dave, kita diliburin seminggu kan?” Tanya  Caroll melalu handphonenya.
                “ya, kenapa?” jawab Dave disebrang sana.
                “anter aku yuuuk?”
                “kemana?”
                “ke wedding partynya temen.”
                “ah, males ah.”
                “Daaaave,, pleaseee! Sekalian liburan kan?”
                “emangnya dimana sih wedding partinya?”
                “deket kok, di Perth.”
                “what? Itu mah bukan deket namanya. Lintas samudra donk. Ogah ah, ajak yang lain aja. Duuu!”
                Dave hendak mematikan teleponya namun Caroll segera mengancamnya. “Dave!” gertak Caroll. “kalo kamu ngga mau, berarti secara ngga langsung kamu mutusin hubungan persahabatan kita. Tiiiitik.”
                Ancaman Caroll berhasil. Dave langsung menyerah. “waduh! O.. o.. ok deh! Kapan kita kesananya?”
                “naah, gitu doong! Sore ini kita terbang.”
                “what? Gila! Sekarang kan udah jam tiga sementara penerbangan sore kan jam empat.”
                “nah, itu tau. So, kita masih punya waktu satu jam buat beres-beres. Awas kalo telat ya? Kamu harus udah nyampe bandara emmm… lima belas menit sebelum penerbangan. Ok, see you then.”
                Carol mematikan hpnya. Ia tak memberi Dave kesempatan untuk menawar lagi. Dave berdecak kesal. Untuk kesekian kalinya Dave menuruti kemauan Caroll. Tapi ia tak pernah kapok. Apapun selagi ia bisa, akan ia lakukan untuk sahabatnya.
                Dave segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia bergegas membereskan perlengkapannya untuk dibawa ke Perth. Tak lupa ia membawa foto Catlyn bersama dirinya. Ia berharap bisa bertemu Catlyn disana.

*****

                Akhirnya mereka sampai di Perth setelah menempuh berjam-jam perjalanan. Dave tersenyum begitu sampai di Perth. Ia yakin liburannya kali ini akan sangat menyenangkan.
                “La, janji ya. Setelah kita dari wedding partynya temen kamu, kamu harus bantuin aku nyari kantor tempat Catlyn bekerja.” Ujar Dave dengan segenap kebahagiaanya.
                “iyaaa, sip deh pokonya.”
                Dave merangkul Caroll sambil berjalan disepanjang koridor hotel. Jantung Caroll berdegup kencang. Getaran cinta yang dirasakan Caroll begitu dahsyat menyerbunya. Carol lebih dulu sampai didepan kamarnya. Davepun segera melepaskan rangkulannya.
                “duu.. met istirahat ya?” ujar Dave saat Caroll hendak masuk ke kamarnya.
                “jangan lupa, nanti malem jam setengah delapan aku tunggu di lobby.”
                “iya, cantik.” Jawabnya sambil berlalu pergi menuju ke kamarnya.
                Carol begitu bahagia mendapat pujian dari Dave. Walaupun hanya pujian untuk seorang sahabat.
                Malam tiba. Mereka segera menuju tempat pesta pernikahan teman Caroll. Begitu sampai di gedung, orang-orang memandangi mereka. Carol tampak cantik malam itu. Dengan sockdress merah atinya yang elegant. Dave menggandengnya. Mereka sangat serasi seperti sepasang kekasih. Orang-orang terlihat iri pada mereka.
                “exuce me.” Sapa resepsionis disana. “what your name? and where do you come from?”
                “my name Carolla Bylbine, he is Dave my friend and we’re from Indonesia.” Jawab Caroll lancer.
                “ok. Please write your name here.”
                Carol dan davepun menuliskan nama mereka dibuku tamu. Setelah usai, mereka segera menuju ruangan inti di gedung tersebut. Gemerlap cahaya gedung menambah kemegahan gedung. Luas disetai hiasan-hiasan cantik tapi simple. Mereka ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh sepasang pengantin.
                Caroll sibuk mencari-cari sosok pengantin wanitanya. Ia tak sabar ingin segera memeluk temannya itu. Ingin ikut merasakan kebahagiaannya. Ia terobos kerumunan orang-orang. Dan akhirnya Caroll menemukan temanya. Ia sedang sibuk menjamu tamu-tamunya.
                “ayo Dave kita kesana.” Ajak Caroll.
                “kamu duluan deh, aku ke toilet dulu. Nanti aku nyusul.”
                Tak menghiraukan Dave, Carollpun langsung berjalan ke arah sipengantin wanita. “Larienta!” panggil Caroll sedikit berteriak.
                Sipengantin wanita mendongak dan berteriak bersama mendapati Caroll hadir ke pesta pernikahannya. “hey, Caroll how are you?” sapa pengantin wanita.
                “fine, oh my God. Aku ngga nyangka kamu nikah secepet ini, selamat yaa.” Seru Caroll histeris.
                Pengantin wanita tampak anggun dengan gaun pernikahan yang mewah.
                “kamu sama siapa kesini?”
                “sama temen, bentar…” carol celingak celinguk mencari Dave. “itu dia, Dave!” panggil Caroll.
                Pengantin wanita itu mendongak kearah yang ditunjuk Caroll. Begitupun dengan Dave. Mereka saling beradu pandang. Dave berjalan menuju Caroll sambil terus memandangi pengantin wanita itu.
                “Larienta, kenalin… ini Dave sahabatku.” Ujar Caroll memperkenalkan Dave.”dan Dave, ini Larienta temenku. Nama depannya sama kaya cewek kamu loh. Catlyn Larienta.”
                Dave dan Catlyn terdiam. Mereka hanya saling pandang. Dave merasakan sesak didadanya.  Ia tak mampu menerima kenyataan ini. Sebuah kenyataan yang memilukan. Hatinya hancur seketika. Perih seperti tersayat be lati yang baru diasah. Satu setengah tahun Dave setia menunggu Catlyn tapi semua penantiannya telah disia-siakan oleh orang yang dikasihinya sendiri.
                Kebahagiaan yang Dave tunggu-tunggu ternyata berbalik menjadi duka. Dengan sekejap ia kehilangan cinta dari orang yang dicintainya. Dave memang ingin bertemu dengan Catlyn tapi bertemu dalam segenap cinta yang masih tertata rapih untuknya, bukan  dalam cinta yang tega menghancurkannya. Kini mereka dipertemukan dalam acara bahagianya Catlyn. Pertemuan untuk perpisahan. Catlyn telah sah menjadi istri orang. Bukan lagi tambatan hati Dave. Bukan lagi pelipur lara untuk Dave.
                Dave tak sanggup berkata-kata. Rasa cintanya lebur sudah melihat Catlyn bersanding dengan pria lain bahkan telah menjadi istri orang lain.
                “jadi kamu sia-siain penantian aku selama setahun setengah ini?” ujar Dave lirih. “selamat menempuh hidup baru.” Timpal Dave ketus.
                “Dave..” Catlyn hendak menjelaskan namun Dave tak memberinya kesempatan.
                “Caroll, ayo kita pulang. Aku cape.” Dave menarik Caroll menjauh dari Catlyn.
                “tapi, Dave!” sergah Caroll. Catlyn hanya terdiam memandangi kepergian mereka.
                Kini Caroll mulai mengerti. Ternyata perempuan yang sering Dave ceritakan adalah Larienta temannya. Catlyn Larienta. Carol merasa bersalah kepada Dave. Ia terlalu ceroboh telah mempertemukan mereka diacara bahagianya Catlyn. Ia benar-benar merasakan apa yang Dave rasakan sekarang.
                “Dave..” sapa Caroll membuka pembicaraan setelah lama mereka terdiam. Taxi melaju sangat lambat. “aku minta maaf.” Sesalnya lirih.
                Dave membuang napas. “ini bukan salah kamu, kok.” Jawab Dave datar.
                “Dave, aku sama sekali ngga tau kalo Catlyn yang sering kamu certain itu temenku. Kalo aku tahu….”
                “shout up, Caroll. Don’t tell me again.”
                “but, I want to tell you, Dave.”
                Mereka saling menentang satu sama lain. “Caroll!” Dave mulai membentak. “ are you hear whats I mean?”
                Laju taxi semakin melambat. Mereka sampai didepan hotel. Carol tersinggung oleh perkataan Dave. “don’t talk me like that!” ujar Caroll sembari membanting pintu taxi.
                Dave mencoba mengejar Caroll namun ia kalah cepat. Ia tahu Caroll benar-benar marah. Dave terus mengetuk pintu kamar Caroll tapi Caroll tak menggubrisnya. Davepun pergi kekamarnya.
*****

                Peristiwa semalam membuat Dave tidak bisa tidur. Rasa-rasanya ia seperti mimpi. Ia belum sanggup menerima kenyataan ini. Dave merasa dirinya terlalu bodoh telah menunggu Catlyn. Ia benar-benar menyesal. Cintanya untuk Catlynpun lenyap sudah tertindas oleh penghianatan Catlyn.
                Dave melihat jam dilayar hpnya. Sudah jam tujuh. Ia kembali diingatkan pertengkarannya dengan Caroll semalam. Iapun bergegas mencari Caroll setelah selesai mandi dan berpakaian rapi. Ia mendapati Caroll sudah tidak ada dikamarnya. Dave panic mencarinya. Ia turun ke restaurant hotel yang dekat dengan pantai. Ternyata disini. Pikirnya. Dave segera berjalan kearah Caroll. Caroll tampak sedang duduk sambil meminum secangkir cappuccino hangat. Rambutnya yang digerai terkibas oleh angin pantai. Dave mendekat dan duduk di kursi sebelahnya.
                “sorry.” Ujar Dave tiba-tiba.
                Carol mendongak. “forget it.” Ia kembali meniupi capuccinonya. “hmm, aku juga minta….”
                “forget it.” Potong Dave sambil menirukan gaya Caroll.
                “apaan sih? Ngga usah ikut-ikutan deh.”
                “ya abisnya… pasti kamu mau minta maaf juga kan?”
                “iiih, ngga usah kepedean deh. Orang aku mau minta ditraktir kok!”
                Dave tertawa renyah. “dasar.” Dave mengacak-acak poni Caroll.
                Carollpun ikut tertawa. Mereka sepakat untuk melupakan kejadian memilukan dalam hidup mereka. Dan Dave juga berjanji untuk selalu tersenyum menikmati harinya. Carol bahagia dengan Dave yang sekarang. Dave yang kembali ceria dan tak akan pernah termenung lagi. Cintanyapun tak akan pernah pudar untuk Dave. Walaupun selamanya Dave tak akan pernah mengetahui perasaannya pada Dave. Yang ia harapkan adalah kebahagiaan Dave. Cukup melihat Dave bahagia itupun akan membuatnya senang. Tak akan pernah meminta pamrih untuk cintanya.

THE END
                                                                                                                                                                                                Oleh : Julia Puspitasari

0 comments:

Post a Comment

Let's Leave a Comment Politely, Friends! ^_^