10 March 2013

“Guntur Rindu”



Riuh. Suara gemericik air dari luar kamarku jelas mengiang di telingaku. Hujan, kilat, dan........ mungkin guntur.  Namun untunglah guntur itu belum juga terdengar setelah beberapa sambaran cahaya kilat. Aku terpaku menatap diriku sendiri di cermin. Aneh. Seperti ada sesuatu yang hilang dari diriku. Tapi apa? Ya. Sudah jelas ada sesuatu yang lenyap dari kehidupanku. Canda tawa dari sahabat terbaikku.  Hilang ditelan takdir.
“Reyhan...” Ujarku lirih.
Terakhir kali yang kulihat hanya senyuman dalam diamnya, dengan mata indahnya yang terkatup membeku. Ya Rabb. Rasanya baru kemarin aku dibuat jengkel olehnya.  Yaa..  apa lagi alasannya kalau bukan karena dia menertawaiku gara-gara ketakutanku pada guntur. 
**#**
~~~~~...    /_ ...~~~~~
 ~~~~           /     ~~~~~

“Aaaa.. Subhanallah Subhanalah Subhanallah....” Pekikku seperti anak kecil sembari menutupi kedua telingaku rapat-rapat. Aku terbungkuk ngeri di atas sofa. Semua orang yang berkumpul di ruang keluarga langsung terdiam seketika itu juga. Ayah, Ibu, A Akbar dan Reyhan lagi-lagi hanya memandangiku dengan tatapan heran. Aku masih sibuk dengan ketakutanku pada guntur. Bukan takut sih sebenernya, aku pikir ini cuma sebuah keterkejutan jangka panjang aja kok. Hening. Mereka masih memandangiku. Aku yang saat itu merasa jadi perhatian mereka, sontak mendongak perlahan dengan innocent faceku. Tiba-tiba......
“Hahahahaha....” Reyhan tertawa lepas melihatku sambil sesekali berhenti dan kemudian melanjutkan tawanya kembali. Reyhan terus terbahak. Ayah, Ibu dan A Akbarpun tak mau ketinggalan ikut mentertawaiku. “Hahahahaha.... Aisyah.... Aisyah....” Gelak tawa mereka mulai memenuhi segala penjuru ruangan. Aku tetap dalam innocent faceku. Mereka terus dan terus terbahak tanpa memperdulikanku. Yah, memang selalu seperti ini.
Kupasang muka merengut. Aku kesal dengan cara mereka mentertawaiku. Apalagi liat si Reyhan. Uhf!
“Aisyaaah... Aisyaah.. Dari dulu ketakutan kamu sama guntur belum ilang-ilang juga ya..! Hahahaha...” Reyhan terus mengolok-olokku.

“Kenapa emang? Salah kalo aku takut guntur?” Tantangku sewot. “Lucu ya?” alisku mulai naik satu.
“Hahaha... iya, iya.. emang lucu! Hahahaha!”
“Terus aja kalian ketawa sampe puas! Huhft!” aku mendengus kesal dan kemudian berlalu pergi.

*****
~~~~~...    /_ ...~~~~~
                                                                ~~~~            /     ~~~~~
Guntur kembali menggelegar membuat meja rias dan kursi yang kududuki bergetar. Cukup kaget. Tapi, tidak. Kali ini ketakutanku pada guntur sudah hilang sejak takdir memisahkanku dengan sahabat terbaikku. Kini, aku bisa mendengar guntur itu dengan jelas tanpa harus menutupi telingaku.


*****
Tiga hari setelah pemakaman itu, aku kembali menjalani rutinitasku sebagai mahasiswi. Kuliah. Pulang pergi ke kampus tanpa seseorang yang selalu menemaniku. Sedih rasanya. Tapi  ini sudah menjadi Qodarnya.
Aku berjalan menyusuri koridor kampus dengan menenteng buku-buku tebal untuk kuserahkan pada dosen. Kucoba berjalan hati-hati meniti langkah demi langkah di atas lantai koridor yang licin. Maklum, sekarang musim hujan otomatis lantai juga bisa jadi licin disebabkan percikan air hujan itu. Hari ini kampus tidak terlalu ramai. Hanya beberapa mahasiswa yang berlalu lalang di koridor. Mungkin banyak dari mereka yang bolos karena malas jika harus menerobos hujan dan macet.
Setiap orang yang kulewati menatap iba terhadapku.
“Turut berduka cita ya, Aisyah!” ujar mereka mencoba menegarkanku. Aku hanya tersenyum dan megucapkan terimakasih. Mereka benar-benar tau kedekatanku dengan Reyhan. Sudah seperti kakak dan adik. Malah sampai ada yang mengira kami pacaran lah, saudara kembar lah, payah.
Hal itu membuatku melangkah tanpa memperhatikan jalan karena terus diajak ngobrol oleh teman kampusku. Aku oleng dan nyaris terpeleset karena licinnya lantai. Tapi untunglah itu tidak membuatku tegelincir. Hanya saja beberapa buku yang ku tenteng jatuh berserakan bersamaan dengan riuhnya gelegar guntur. Sedikit terkejut memang. Hati-hati kubereskan buku-buku yang berserakkan dengan dibantu oleh Ikhsan, teman sefakultasku yang saat itu melihatku.
“Hati-hati ya Aisyah.. Lantainya licin. Mana kamu bawa bukunya banyak banget, tebel lagi. Emang mau diserahin sama siapa sih?” Ikhsan membantuku dengan sedikit memperdulikanku.
“Iya nih, semua buku ini mau aku serahin ke Bu Fatimah.” Jawabku seperlunya.
“ooh.. Ya Udah, aku bantu anterin ke Bu Fatimah ya!”
Aku terdiam dengan pandangan menyelidik ke arah koridor di sebelah kananku. Aneh. Aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku dari kejauhan. Aku hanya melihat seorang lelaki menyendiri di arah koridor yang ku selidiki.
“Syah... Aisyah...” Panggil Ikhsan yang cukup lama tak mendapatkan respon dariku.
“eh, oh.. eng, i-iya” Jawabku terbata. Seakan mengerti, Ikhsan mengikuti arah pandanganku.
Ia tersenyum. “oooh... Ikhwan itu....!” sahutnya mengerti. “Namanya Anwar dari fakultas sastra Arab. Yuk, kita kesana. Nanti aku kenalin.”
“Hah?!....” aku hanya melongo sambil kemudian mengikuti langkah Ikhsan. Sepertinya Ikhsan salah menerka. Bukan itu maksudku, sepertinya aku melihat laki-laki selain yang ditunjuk oleh Ikhsan.
Kami semakin dekat dengan laki-laki yang Ikhsan maksud. Laki-laki itu hanya tersenyum ke arah kami. Akhirnya kami sampai dihadapanya. Lelaki itu, Anwar maksudku. Ia lantas bercakap-cakap beberapa detik dengan Ikhsan dengan menggunakan bahasa Arab yang tak banyak ku mengerti. Maklum, aku hanya mahasiswi fakultas sastra Inggris jadi aku tidak terlalu paham menggunakan bahasa Arab untuk sekedar bertegur sapa.
“eh, iya sampai lupa. Anwar, kenalin ini ukhti sastra Inggris namanya....” Ikhsan memperkenalkanku dengan Anwar.
“Aisyah..!” Potong Anwar seolah telah mengenalku.
“ya, saya Aisyah.” Jawabku heran.
“kok, antum udah tau kalo ini Aisyah?” tanya Ikhsan sama herannya denganku.
“tau aja.” Sahut Anwar dengan memamerkan senyum santainya.
Sebentar, sebentar. Sepertinya aku pernah melihat Anwar. Tapi dimana? Wajahnya juga cukup familiar. Sedikit mirip dengan.... siapa ya?! Aku malah sibuk dengan pikiranku sendiri. Ya. Aku pernah melihatnya di pemakaman Reyhan. Dan wajahnya..... juga sedikit mirip dengan Reyhan. Tapi.....
“Dia itu kakak sepupuku...” Seolah ada sesuatu yang berbisik ditelingaku. Ya, Benar. Reyhan pernah menceritakan padaku tentang kakak sepupunya yang kuliah di fakultas sastra Arab.
Ah.. melihatnya hanya akan mengingatkanku pada Reyhan. Aku kembali terdiam sesaat ketika gemuruh guntur kembali terdengar. Aku sudah berada dihadapan Anwar, tapi kenapa aku masih merasa ada seseorang yang memperhatikanku. Ah, sudahlah! Mungkin ini hanya pengaruh dari perlawananku terhadap ketakutanku pada guntur.
“Ukhti Aisyah kenapa?” tanya Anwar lagi-lagi mengejutkanku.
“eng.. engga, ngga kenapa-napa.” Aku tersenyum. “udah yuk, San. Takutnya ditungguin Bu Fatimah.” Ajakku pada Ikhsan.
Ikhsanpun mengangguk dan kembali berpamitan pada Anwar dengan menggunakan bahasa Arab. Ikhsan memang bukan dari fakultas sastra Arab, tapi ia mengerti banyak tentang bahasa Arab. Jadi ya wajarlah kalau dia lumayan fasih berbahasa Arab. Aku dan Ikhsan melenggang pergi setelah berpamitan pada Anwar.

 *****
 Sore ini aku sedikit pulang terlambat karena harus menyelesaikan beberapa tugas dari dosenku. Aku tak tahu kenapa akhir-akhir ini aku terus merasa seperti ada yang memperhatikanku. Menatap sayu padaku. iih... bulu kudukku berdiri.
Waktu pada Arlojiku menunjukkan pukul 05.00 PM. Hujan masih belum reda. Kuterobos hujan menuju ke halte dengan melindungi kepalaku menggunakan tas. Huh! Jilbabku sedikit basah. Tapi tak apa lah dari pada basah kuyup. Halte cukup lengang. Hanya ada 5 orang ditambah denganku. Dalam keadaan hujan seperti ini, ingatanku kembali menerawang ketika Reyhan mencandaiku tentang guntur. Ingin sekali mendengar tawa lepasnya lagi. Aku rela walau harus ditertawai olehnya beribu kali. Tapi percuma, kini aku tak bisa mendengar tawanya lagi. Hanya membayangkannya saja mungkin dapat mengurangi rasa rinduku padanya. Rindu? Ya. Ternyata aku merindukannya. Merindukan Reyhan. Sahabat terbaikku sekaligus seseorang yang kuharapkan kelak menjadi calon imamku. Calon imam? Itu berarti aku mengharapkan Reyhan untuk menjadi suamiku kelak. Artinya... aku mencintainya. Aku mencintai Reyhan. Sahabat terbaikku. Lamunanku terhenti ketika kilat mulai menyambar kemudian diiringi dengan guntur yang cukup keras. Kubuka mata lebar-lebar untuk melihat hujan dan kilat dengan jelas. Dan kubiarkan telinga ini mendengar dengan jernih suara guntur yang menggelegar. Berharap aku bisa mendengar tawa Reyhan lagi.

~~~~~...    /_ ...~~~~~
 ~~~~           /     ~~~~~
Guntur itu terus menggema, cukup membuat penging telinga orang-orang yang ada di halte saat itu. Tapi tidak untukku. Aku melihat ke arah mereka yang menutup telinganya. Dan lagi-lagi kulihat seseorang berdiri mematung tanpa sepatah katapun yang ia ucapkan. Ia hanya tersenyum dingin menatapku. Senyum yang tak asing bagiku. Tapi kenapa tak ada seorangpun yang menghiraukan keberadaannya.
Aku diam. Masih terus menatap wajah dengan senyum dingin itu dibalik gemuruh guntur. Dia terus tersenyum padaku. Terngiang gelak tawa Reyhan dalam lamunanku.
“Reyhan...”
Hujan, kilat, guntur terus berpadu padan saling berbaur menyisakan sebuah cerita. Sebuah tawa, sebuah senyum, dan sebuah rindu dari palung hati yang terdalam. Subhanallah. Kini keberanianku mulai tumbuh. Aku ingin menjadi sahabat guntur itu. Aku ingin mendengarnya dengan jelas. Jelas di telingaku. Agar aku bisa medengar tawa itu, agar aku bisa melihat senyum itu kembali. Walau hanya dalam angan, dalam lamunan. Dan dalam cerita yang takkan pernah terulang kembali.
“Reyhan...”
Ternyata dia yang selalu tersenyum dingin padaku saat guntur menelan bumi. Tenyata dia yang selalu memperhatikanku saat guntur menggema. Reyhan, aku tak akan memekik seperti anak kecil lagi. Aku berani. Bukan berani mendengar gelegar guntur, melainkan berani mendengar alunan guntur yang bergema bersamaan dengan gemuruh rinduku.

~~~~~...    /_ ...~~~~~
 ~~~~            /     ~~~~~

The End


0 comments:

Post a Comment

Let's Leave a Comment Politely, Friends! ^_^