Oleh : Julia Puspitasari
Pagi
ini langit terlihat cerah. Burung-burung bernyanyi riang. Mataharipun
menampakan senyumnya. Mereka seperti tahu apa yang ku rasakan. Yahhh.. hanya
satu kata yg aku rasakan “bahagia”. Tidak seperti pagi biasanya sekarang aku
bangun lebih awal. Ku nyalakan hpku dan kini aku mulai sibuk mempermainkan
jari-jariku di atas keypad hp. Tak
selang berapa detik hpku bergetar. Sudah kuduga.
“pagi
bebz..!” kata seseorang di seberang sana.
“pagi
juga cintaa..” jawabku dengan manja.
“nanti
aku jemput ya?”
“iyya
cintaa, kamu tuh udah tahu nanya.”
“love
you bebz..”
“kamu
sadar ngga ,sih!! Ini tuh genap yang ke 1420 kalinya kamu bilang kaya gitu.”
Kataku mengingatkan. “bosen tau?! Ganti kata-kata yang lain napa ce?”
“loh
emangnya salah ya? Kan aku emang sayang sama kamu.” Kata Irwan mengelak. “happy
anyversary bebz..!!”
Percakapan
demi percakapanpun telah berlalu. Yahhh, ini memang hari jadi kami yang ke 2
tahun. Seperti biasa setiap hari jadi, pasti kami punya acara sendiri. Entah
itu jalan atau hanya sekedar makan. Aku tidak pernah menyangka ternyata aku dan
Irwan bisa melewati rintangan demi rintangan yang menghadang hubungan kami
sampai detik ini. Bisa dikatakan langgeng memang, tapii entahlah.. siapa yang
tau? Tapi, aku selalu berharap tak ada satupun hal yang bisa memisahkan kami.
Kudengar
suara ketukan pintu. Berkali-kali. Aku terkejut, saking asiknya melamun aku
sampai tak mendengar suara ketukan pintu.
“Nayra…!!!”
seseorang memanggil namaku. Eaa, dia adalah kaka tersayangku Nayla. Hmm nama
kami memang hampir mirip tapi wajah kami sama sekali tidak mirip. Banyak yang
bilang aku lebih cantik dari Nayla tapi tidak masalah otak. Aku memang terkenal
lebih lamban dari Nayla. Ngheh, entahlah. Yang penting kami saling menyayangi.
Aku
beranjak dari tempat tidur lantas kubuka pintu kamarku. “ada apa, La?”
“kamu
mau keluar jam berapa?”
“nanti
agak siangan lah.. kenapa emangnya?’
“oh,
ya udah aku pinjem mobilnya dulu deh. Aku buru-buru nih, mau ketemu Rio”.
“tuh ambil di laci.”
Aku
terus sibuk menyisir rambutku. Hari ini aku berniat tampil special untuk Irwan.
Ku ambil hp lalu aku mulai sibuk mencari-cari nomor irwan. Setelah ku temukan
lantas ku telp dia tapi yang ku dengar hanya “maaf nomor yang anda tuju sedang
berada di luar jangkauan”. Ah! Aku terus mondar-mandir tak karuan. Seharusnya Irwan
sudah menjemputku sejak 15 menit yang lalu tapi sampai sekarang aku belum
melihat batang hidungnya.
“aduuuh,
Irwan mana sih? Ngga biasanya dia telat.” Kataku gelisah.
Terdengar
derap langkah kaki mendekatiku. “kenapa ,Ra? Kok gelisah banget??” Tanyanya
sembari mengelus-elus rambutku.
“hmm..
mama, Ra lagi nunggu Irwan mam!” jawabku manja.
“emangnya
dia bilang mau jemput kamu?” aku hanya mengangguk. “coba kamu telpon”
“udah
,ma. Tapi ngga aktif.” Kegelisahanku semakin menjadi. “aku khawatir ma,
takutnya dia kenapa-kenapa”.
“jangan
negative thinking gitu dong ,ah, jelek tau.”
Akhirnya aku kembali ke kamar
dengan keadaan hati tak menentu. Beberapa kali ku coba menghubunginya tapi
tetap tidak ada jawaban. Aku terus berpikir keras. Setelah lama aku berpikir
akhirnya ku putuskan untuk pergi ke rumahnya dan mencari tau apa yang terjadi.
“emmm..
Den Irwannyaa..” Bi Nani gelagapan. “aduh, em.. emm…”
“kenapa
sih, Bi? Irwan kemana?” ku pertegas pertanyaanku.
“anuuu..”
garuk-garuk kepala. “den Irwan pergi ke London nyusul mama sama papanya,
Neng.”Aku semakin curiga dengan gerak-geriknya Bi Nani. Aku yakin ada sesuatu
yang Bi Nani sembunyikan dariku.
“ngga
mungkin, Bi. Tadi Irwan janji mau jemput aku. Masa sih tiba-tiba dia pergi gitu
aja?! Tanpa pamit sama aku lagi.” Aku mendengus kesal. “pasti Bi Nani
nyembunyiin sesuatu dari aku, kan?”
“eng..
engga kok, Neng. Beneran deh, bibi ngga bohong.”
“kok
bisa tiba-tiba gitu sih, bi?” dahiku berkerut.
“katanya, mamanya den Irwan sakit,
jadi papanya den Irwan suruh den Irwan kesana.” Jawabnya mantap. Mendengar
jawaban bi Nani, hatiku begitu perih. Tak pernah kusangka Irwan pergi saat hari
jadi kami, tanpa pamit pula. Aku sedih bercampur heran.
Sudah
3 hari aku mencari tau tentang Irwan tapi tidak ada hasil sedikitpun.
Berkali-kali aku Tanya bi Nani namun Bi Nani tetap memberi jawaban yang sama
seperti 3 hari yang lalu. Sampai akhirnya kabar buruk hinggap di keluargaku.
Kaka tersayangku kecelakaan. Entah kenapa akhir-akhir ini nasib sedang tidak berpihak
padaku.
Kulangkahkan
kaki melewati koridor demi koridor di rumah sakit. Panic, sedih, gelisah semua
bercampur menjadi satu. Perlahan kubuka pintu ruangan dimana kakak ku di rawat.
Sudah kuduga kedua orang tuaku telah berada disana sebelum aku datang. Tanpa
basa-basi langsung ku peluk Nayla dan kutanyai ia dengan berbagai macam
pertanyaan.
“Ra,
kaka kamu kan masih shoke. Kok malah ditanya-tanya terus, sih?” bentak papa
mengingatkanku.
“tapi
kan, pa….” dengan segera mama memotong pembicaraanku. “sudah-sudah, mending
sekarang kamu tebus obat kaka kamu. Nih, resepnya.” Sahut mama sembari
memberikan secarik kertas yang berisi daftar resep obat Nayla. Aku menurut, dan
pergi tanpa sepatah katapun.
Aku
berjalan tak bersemangat. Lelah, seperti ada sesuatu yang hilang. Tiba-tiba
langkahku terhenti. Aku melihat seorang wanita paruh baya yang kurasa aku
kenal. Yah.. tidak salah lagi, aku memang kenal, dekat malah. Itukan tante
Erly, mamanya Irwan. Kenapa disini? Bukanya dia sedang sakit? Bla bla bla.
Beribu pertanyaan timbul di benakku. Untuk menuntaskan rasa penasaranku dengan
segera ku hampiri tante Erly. Kurasakan langkahku begitu berat.
“Tante!”
Kusapa ia dengan kening berkerut. Namun, nampaknya ia terkejut dan salah
tingkah.
“eh..
em.. eng.. Na, Na, Nayra!” jawabnya gelagapan. Keningku semakin berkerut. “kok
disini? Ada apa?”
“harusnya
aku Tan, yang Tanya kaya gitu.” Jawabku mantap. “tante ngapain disini? Bukannya
tante lagi sakit ya? Oh, ya. Irwan mana, Tan?”
“aduh..
em, eng…..” dia telihat panic. “biar tante jelasin.” Sahutnya sambil menarik
tanganku.
Kami
duduk di kursi ruang tunggu. Jantungku berdegup kencang menunggu penjelasan dari
tante Erly. Dia bercerita sambil menangis. Akupun hanya terdiam tanpa kata.
Punggungku mulai panas mendengar ceritanya. Namun aku segera meminta tante Erly
untuk menunjukan dimana Irwan.
“Irwan
ada di kamar dahlia.” Katanya singkat.
Spontan
aku langsung berlari mencari-cari kamar yang dimaksudkan tente Erly. Jantungku
kembali berdegup kencang saat kutemukan kamar rawat dengan papan yang
bertuliskan dahlia. Ingin segera kubuka pintu kamar itu, tapi keraguan muncul
dibenakku. Perlahan kubuka pintu kamar diamana Irwan berada. Sedikit demi
sedikit mulai tampak isi dari kamar tersebut. Perlahan air mataku menetes,
hatiku seperti tersayat, tubuhku lemas melihat seseorang yang aku cintai
terbaring di pembaringan pasien. Kulangkahkan kaki walau terasa berat. Tampaknya
dia melihatku. Ada penderitaan terpancar dari sorot matanya. Aku berlari dan
langsung memeluknya. Tangisku tumpah di tubuhnya. Aku tak bisa berkata apa-apa.
Menangis, itu yang kubisa. Kutatap ia dengan beribu luka di hati. Iapun ikut
menangis. Kami menangis bersamaan. Hanya kata maaf yang kudengar darinya.
“kenapa
kamu ngga bilang sama aku, ngheh? Kenapa?” aku langsung memarahinya. Namun, ia
hanya tersenyum. Ia seka air mataku. Itulah yang selalu ia lakukan jika aku
menangis.
“udah
bebz, aku ngga papa kok!” jawabnya mencoba menenangkan hatiku.
“kenapa
sih kamu harus bohong sama aku? Pake pura-pura ke London lagi! Aku ngga habis
pikir tau ngga?” ujarku tanpa henti.
“em..
em,, aku cuma… emm,..”
“ok!
Ok! Tapi beneran kan, kamu ngga kenapa-kenapa?.” Tanyaku masih dengan panic.
“ada yang sakit ngga?”
“engga,
bebz.. eng,.. em.. aku.. akuu.” Irwan tampak gelagapan.
“cintaaa,
ayo donk! Mana yang sakit? Biar aku sembuhin peke jurus cinta.” Aku tersenyum
mencoba untuk menghiburnya. Kuraba lengannya dan ku amati bagian tubuhnya untuk
memastikan bahwa ia tidak terluka sedikitpun. Sikut kanannya terlihat lecet dan
kulihat perban melekat di telapak tangannya. Kemudian aku mulai mengamati
kakinya yang tertutup selimut.
“em,
bebz,,,” gertaknya ketika aku mulai membuka selimut yang menutupi kakinya. Dia
telihat takut. Kemudian kubuka selimutnya. Daaaannnn… tidak ada lecet
sedikitpun. Hanya luka lebam dibagian lutut, betis dan mata kakinya.
“kamu
kenapa ,sih? Aku kan Cuma liat aja pake takut segala.”
Irwan
tampak menghembuskan napas berat. Raut paniknya masih terlihat jelas di
mukanya.
“oh
ya, aku keluar sebentar ya bebz. Aku sampe kelupaan suruh nebus obat. Aku janji
nanti aku balik lagi.” Aku tersenyum lega.
Baru
berjalan beberapa langkah dan itupun masih di dalam kamar, tiba-tiba kakiku
terasa kaku. Spontan aku berteriak kesakitan.
“awww!!
Sakit.” Aku berteriak kecil sembari memegangi kakiku.
Irwan
terkejut, sepertinya ia ingin menolongku. Ia terbangun dari tempat tidur
mungkin berniat ingin menolongku. Namun, belum sempat ia melangkah, ia terjatuh
ke lantai.
“Irwan!”
aku terkejut setengah mati.
Entah
apa yang terjadi padanya. Hatiku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi?
Ia masih terus berusaha untuk berdiri tapi, batinku mulai menerka-nerka yang
terjadi. Ada apa dengan Irwan? Batinku bergejolak. Aku hanya memandanginya
dengan tatapan heran bahkan aku tidak menghampirinya.
“aku
lupa bebz..” kata Irwan masih dengan terduduk lemah.
“sebenernya
kamu kenapa, Wan?” air mataku sudah tak mampu kubendung. Perlahan mulai menetes
membasahi pipi.
Irwan
hanya menunduk lemah. “dokter bilang, aku lumpuh.”
Kurasakan
perih di hati. Dadaku sakit mendengarnya. Sekuat tenaga aku berlari
mendekatinya walau kram di kakiku masih terasa. Kupeluk ia, dan kutumpahkan
semua air mataku di bahunya. Terlihat jelas bahwa ia menyesali
ketakberdayaannya. Merasa bahwa ia tak akan berguna lagi, mungkin tu yang Irwan
rasakan.
“liat
aku, Ra! Sekarang aku Cuma laki-laki ngga berguna. Bahkan aku ngga bisa
ngelindungin kamu, nolong kamu saat kamu jatuhpun aku ngga bisa, Ra!” terlihat
jelas penyesalan di wajahnya.
~plak!~
Kutampar
Irwan dengan segenap kemarahanku. “kamu tuh apa-apaan sih? jadi karna ini kamu
menjauh dari aku?” gertakku parau. Suasana hening seketika. Yang terdengar
hanya isak tangisku.
“maafin
aku bebz, itu semua aku lakuin karna aku takut kamu kecewa sama aku. Aku takut
kamu ngga mau nerima aku lagi. Aku udah ngga bisa ngapa-ngapain lagi bebz. Aku
lumpuh! Aku ngga berguna bebz, ngga berguna!” celotehnya tanpa henti, “aku ngga
mau kamu nyesel punya cowo kaya aku.”
“kamu
bodoh! Kamu kira aku sejahat itu?” aku terus memakinya. “kamu tuh terlalu rapuh
tau ngga? Masih banyak orang di luar sana yang nasibnya lebih buruk dari kamu.
Bahkan, yang dokter vonis lumpuh permanenpun mereka masih bisa disembuhkan.
Kamu bangkit dong! Denger, Wan. Apapun yang terjadi sama kamu, aku tetep sayang
kamu.” Ocehku panjang lebar.
“tapi,
bebz…” Irwan masih mengeluh.
Kubekap
mulutnya dengan telapak tanganku, “Whatever…… I love you.”
The
End
0 comments:
Post a Comment
Let's Leave a Comment Politely, Friends! ^_^