Malam
bertabur bintang berhiaskan cahaya rembulan. Angin malam berbisik menjamah
dedaunan dan dengan sengaja menyibak jilbab merah jambu yang ku kenakan. Suara
jangkrik semakin menambah keheningan malam ini. Aku termenung di beranda rumah sambil
sesekali menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk sekedar menghangatkan
diri. Kueratkan jaket yang terasa semakin menipis terhentak oleh sibakan angin
yang menusuk ke pori-pori kulitku. Aku terdiam. Sesekali diiringi desahan
sambil berucap Istighfar.
Ku
perhatikan daun jambu kering yang berguguran tertiup angin. Begitu indah alam
ini. Sungguh, Allah memang tidak menciptakan semua ini dengan sia-sia. Subhanallah. Aku bertasbih sambil
memperhatikan ciptaanNYA. Disela-sela kekagumanku, sebuah bayangan berkelebat
dari arah semak-semak di samping rumah tetanggaku. Sontak aku terperanjat. Ya Allah! Apa itu? Aku bertanya-tanya
dalam hati. Rasa takut menyelinap pada diriku. Namun, aku punya Allah yang
selalu bersamaku. Aku tidak boleh takut kepada selain Dia.
“Hey!!
Siapa disana?” Kuberanikan diri untuk bertanya pada sosok di balik semak-semak
itu yang entah manusia atau bukan.
Jantungku
masih berdegup kencang memperhatikan semak-semak yang bergoyang itu. Lama tak
ada jawaban. Ku perhatikan keadaan sekitar. Sepi. Tak ada satupun orang yang
lewat. Karena suasana yang mencekam akhirnya kupanggil mama.
“mah...!”
Panggilku dengan nada setengah takut.
Terdengar
suara hentakan kaki mama yang melangkah semakin mendekat. “ada apa sih, Salwa?
Teriak-teriak malam-malam begini.” Ujar ibu dengan raut mukanya yang mengerut
karena usianya yang semakin rapuh.
“afwan,
mah. Ini tadii....” belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba
sesosok mahluk muncul di hadapan kami.
Mataku
tak sanggup berkedip, mulutku hanya menganga tanpa sepatah katapun. Heran,
takut, kaget, bercampur takjub. Subhanallah.
MasyaAllah, Astaghfirullah.. Cepat-cepat ku alihkan pandangan.
“Assalamu’alaikum..”
Sapa mahluk itu membuat mama tersenyum.
“Wa’alaikumsalam.”
Jawab mama dan aku serempak. “eh, ini kan nak Fauzan anaknya ustad Shidiq ya!” Ujar
mama hangat.
Mahluk
itu langsung mencium tangan mama dengan hormat. Tak lupa ia merapatkan kedua
tangannya dan mengangguk padaku. Kulakukan hal yang sama. Ternyata mahluk ini
adalah seorang ikhwan dengan wajah bersih bercahaya dipadu dengan baju qaqa
coklat muda dan celana panjang hitam. Wajahnya yang alim dan tatapan matanya
yang teduh mungkin bisa saja meluluhkan hati wanita yang melihatnya. Termasuk aku. Pikirku. Astaghfirullah! Ku tepis pikiran itu
jauh-jauh.
“iya,
betul ummi. Oh, ya. Afwan ya ummi, saya tidak bermaksud membuat keributan
disini.”
Ummi??? Ikhwan itu memanggil mama
dengan sebutan ummi? Aku terkejut setengah heran. Bisa-bisanya
dia memanggil mama dengan sebutan itu. Bahkan aku saja anaknya sendiri hanya
memanggilnya mama.
“iya,
nak Fauzan. Tidak apa-apa. Tapi, apa yang sedang nak Fauzan lakukan dibalik
semak-semak itu?” Tanya mama sambil sesekali mengerutkan dahinya.
“begini
ummi, tadi ketika saya sedang duduk di beranda rumah, saya mendengar suara
desisan seperti seekor ular...”
“ular?”
aku terperanjat sebelum ia berhasil menyelesaikan ceritanya.
“Na’am,
karena khawatir itu benar-benar seekor ular maka tanpa pikir panjang saya
langsung menghampiri semak-semak dimana suara desisan itu berasal. Tapi
Alhamdulillah, karena yang saya dapati hanya seekor kadal.” lanjutnya diiringi
dengan senyum yang membuat wajahnya semakin berseri.
“oh,
syukurlah.” Ujar mama lega. Begitupun dengan aku. Ku buang nafas secara
perlahan. “aduh! Ummi sampai lupa malah berbincang-bincang disini. Mari mampir
dulu ke rumah, nak Fauzan! Abi juga ada di dalam ko.”
“Afwan,
ummi. Syukran. Ini sudah terlalu malam untuk bertamu. Takut ada fitnah, ummi.
Kapan-kapan saja ummi, pada waktu yang baik untuk bertamu.” Tolaknya secara
halus.
“Subhanallah.
Tidak menyesal ummi mengenalmu, nak.” Mama semakin terpesona oleh kealimannya.
“baiklah
ummi, saya pamit pulang dulu. Takutnya ummi sama abi di rumah mencari saya.”
Pamitnya sambil kembali mencium punggung tangan mama.
“ya
sudah. Sampaikan salam ummi dan abi disini untuk orang tuamu.”
Ikhwan
itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Kemudian berlalu pergi. Lama kelamaan
sosoknya yang semakin menjauh hilang ditelan gelapnya malam. Anehnya setelah ia
pergipun aku masih berdiri mematung. Mama terheran-heran melihatku.
“Salwa!”
sapa mama sembari menepuk pundak ku.
“oh,
eh, iya mah..” jawab ku gelagapan.
Mama
tersenyum. “jadi begini tah anak mama kalo melihat ikhwan yang alim?” tanya
mama menggodaku.
“aah,
mama...Salwa kan cuma kagum.” Sahutku manja sedikit cemberut. “udah ah mah,
masuk yu.. Salwa udah ngantuk nih!”
Lagi-lagi
mama hanya tersenyum, kemudian merangkulku sambil membawa masuk ke rumah.
^_^
Begitulah
cerita saat malam pertemuanku dengan Fauzan. Aku hanya bisa terrsenyum perih
mengingat malam itu. Malam dimana pertama kalinya aku tertarik pada seorang
ikhwan. Malam yang membuat jantungku selalu berdegup kencang selama beberapa
minggu itu. Ya. Kejadian itu tepat dua bulan yang lalu. Lama memang.
.........................
Sehari
setelah petemuan yang menyisakan tanda tanya itu, aku selalu termenung mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang melintas dipikiranku. Aku terus mencoba
mengingat-ingat percakapan antara mama dan Fauzan. Begitu hangat, akrab, bahkan
sudah seperti percakapan seorang ibu dan anak. Fauzan memanggilnya ummi, begitupun mama menanggapi Fauzan, mamapun
menyebut dirinya sendiri sebagai ummi. Kami memang bertetangga, tapi aku
baru melihatnya kali itu. Anehnya, mama seperti sudah mengenal Fauzan dengan
akrab.
Akhirnya
untuk menuntaskan rasa penasaranku yang terus berkecamuk di hati, kuputuskan
untuk bertanya langsung pada mama. Namun mama hanya menjawab pertanyaanku
dengan singkat. Tanpa kepastian sedikitpun.
“Fauzan
itu anak keduanya ustad Shidiq.” Hanya itu yang kudengar dari jawaban mama.
“tapi
kenapa aku baru melihatnya kemarin mah? Bukankan kita bertetangga? Jadi selama
ini kemana dia?” tanyaku memberondong.
“karena
dia baru pulang setelah menyelesaikan S1nya di Ain Syams Mesir.”
“mama
bahkan tau kalo ia baru pulang dari Mesir? Mama kenal deket sama Fauzan? Salwa
liat, percakapan mama sama Fauzan semalam begitu hangat dan akrab. Apa mama
sudah lama mengenalnya?”
“sudahlah,
Salwa. Hal sepele begini saja ko dibahas. O ya, sebentar lagi mama ada liqa’ di rumah Bu Nurul. Mama siap-siap
dulu ya.” Begitulah mama. Beliau selalu memanfa’atkan liqa’ sebagai alasan jika aku mulai memberondongnya dengan berbagai
macam pertanyaan. Memang tidak seharusnya aku begitu. Tapi aku hanya ingin menuntaskan
rasa ingin tahuku saja..
Ah!
Memang aku yang salah. Terlalu berlebihan. Tidak seharusnya aku terlalu
memikirkan seorang ikhwan secara mendalam. Dosa. Tapi seberapa kuatpun kutepis
gejolak ini aku malah semakin kalut dalam rasa ini. Astaghfirullah.. Astaghfirullah..
Astaghfirullah! Berulang kali ku ucap istighfar. Namun, gejolak ini malah
semakin dahsyat kurasakan. Ada apa sebenarnya?
^_^
Berulang
kali ku bolak-balik halaman dari Al-Qur’an yang sedang ku baca. Ya Rabb.. ada apa sebenarnya denganku? Astaghfirullah.. Entah kenapa sejak
pertemuanku dengan akhwat itu membuat perasaanku menjadi semakin tak menentu. Ya Rabb, jauhkan rasa ini dari hatiku jika
ini adalah sebuah dosa. Namun, Ya Rabb.. jika aku jatuh hati maka jagalah
hatiku padanya agar aku tidak berpaling daripada hatiMU.
Kucoba
menenangkan hati dengan keluar masuk kamar kecil untuk berwudhu. Berharap
dengan wudhuku ini bisa memalingkanku dari gejolak rasa ini yang entah apa
jenis dari perasaan ini. Karena aku baru merasakan hal ini untuk yang pertama
kalinya.
“Fauzan!”
Panggil abi sambil menghampiriku yang masih duduk di lantai beralaskan sajadah.
“iya,
abi!” Jawabku yang kemudian berdiri menyambut abi dan mencium punggung
tangannya.
Abi
terdiam seketika. Entah apa yang abi pikirkan. Matanya menatap tajam ke dalam mataku.
Aku hanya bisa menunduk dan berpaling dari tatapan abi. Sepertinya abi mulai
mngetahui kegundahanku.
“ada
apa anak ku? Abi melihat ada kegundahan dalam sorot matamu. Tidak seperti biasa
tanganmu juga terasa dingin begitu menyalami abi.” Tanya abi menyelidik.
Sontak
aku langsung melihat kedua tanganku kemudian menggosok-gosokkan kedua telapak
tanganku. Memang benar kata abi. Tidak seperti biasanya tanganku terasa dingin
tak menentu. Sebenarnya ingin sekali aku menjawab pertanyaannya, “benar abi, hati saya sedang gundah setelah
saya bertemu dengan akhwat itu. Mungkin saya telah jatuh hati pada akhwat itu,
abi.” Namun, jawaban itu hanya bergema di hati.
“tidak
apa-apa, abi. Mungkin ini karena tadi Fauzan bolak-balik ke kamar kecil untuk
berwudhu.” Jawabku sekenanya.
Lagi-lagi
abi diam beberapa saat. Mencoba menelusuri ruang batinku untuk mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi pada anak keduanya ini.
“baiklah
kalo kamu tidak mau bercerita, tapi jika suatu saat kamu membutuhkan abi untuk
mencurahkan perasaanmu maka temuilah abi. Abi siap mendengar ceritamu dan siap
memberimu solusi jika abi mampu.” Jawab abi menenangkanku.
Abi
memang seorang kepala keluarga yang baik. Mampu mengerti kegelisahan yang
menyerbu hati salah satu dari anggota keluarganya. Bahkan ia mampu menenangkan,
memberi solusi, serta memberi nasihat yang baik bagi anggota keluarganya. Abi
jugalah yang menjadi panutan bagi aku dan akhunku.
Akhun (kakak laki-laki) ku bahkan
sangat menjadikan beliau sebagai idola keduanya setelah Nabi Muhammad SAW.
“syukran, abi..” sahutku sambil menunduk.
“oh
iya, abi sampai lupa. Nanti sore ba’da
Asar kita akan bersilaturahmi ke rumah tetangga kita, Ustad Yusuf dan Bu
Huuriyah. Kamu siap-siap ya, pakai pakaian yang rapi dan bersih.” Aku
mengerutkan dahi. Seperti tahu maksudku, abi langsung melanjutkan kata-katanya.
“Hanya untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama muslim saja ko.”
Lanjutnya sembari tersenyum. “ya sudah, abi tinggal dulu ya.” Ujarnya sambil
menepuk-nepuk pundak ku dan berlalu pergi.
Silaturahmi? Kenapa hanya ke rumah
Ustad Yusuf saja? Bukankah di lingkungan ini juga banyak ustad-ustad yang lain?
Pikiranku bercabang, semakin berkecamuk tak menentu. Bersilaturahmi ke rumah
Ustad Yusuf itu artinya aku akan menemui akhwat itu. Jantungku semakin berdegup
kencang. Ya Allah, berilah aku ketenangan
hati dan jiwaku.
~tok
tok tok~
Terdengar
suara pintu kamarku di ketuk. Aku melangkah gontai berusaha meraih gagang
pintu. Kubuka pintu. Ah, ternyata ummi.
“loh,
ummi bukannya ada liqa’ di rumah Bu
Nurul?” tanyaku begitu ummi tepat berada di hadapanku.
“iya,
sebentar lagi. Ummi cuma ingin memastikan kalo abi sudah memberitahumu.” Jawab
ummi dengan wajah berseri.
“oh,
perihal silaturahmi ke rumah Ustad Yusuf ya, ummi?”
“syukurlah
kalo kamu sudah tau. Pake baju yang rapi ya? Ingat! Ba’da asar loh.” Ujar ummi
mengingatkanku. “ya sudah, ummi pergi liqa’
dulu ya.” Pamit ummi diiringi langkahna yang semakin menjauh.
Hanya bersilaturahmi saja kenapa
harus diingatkan segala?
Sudahlah,
mungkin ummi takut aku lupa. Segera aku mandi sore setelah kutunaikan Shalat
Dzuhur dan kulanjutkan dengan tilawatil
Qur’an sambil menunggu waktu Asar tiba.
^_^
Siang
ini aku sibuk berdandan menghias diriku dengan riasan sederhana. Bahkan sama
sekali tak terlihat menggunakan makeup.
Inilah aku, Salwa. Aku sama sekali tidak suka dandan sampai berlebihan. Ku
kenakan jilbab biru muda yang sepadan dengan warna bajuku. Entah ada acara apa
sampai-sampai mama menyuruhku berdandan untuk siang menjelang sore ini. Sebagai
seorang anak, aku hanya bisa mematuhi perintahnya.
Aku
telah usai berdandan. Kini tinggal menanti tibanya waktu Asar yang hanya
tinggal beberapa menit lagi. Kuputuskan untuk menunggu Asar sambil tilawatil Qur’an. Aku tertegun khusyu
memperhatikan arti dari ayat Al-Qur’an Surat Asy-Syura:83 yang aku baca. “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku Hikmah
(agar aku menjadi orang yang bijaksana) dan pertemukanlah aku dengan
orang-orang yang shaleh”.
Tak berapa lama seseorang mengetuk pintu kamarku dan masuk sambil
mengucap salam. Oh, itu mama.
“kamu sudah dandan, Salwa?” tanya mama dengan kening berkerut.
“udah ko mah, ini.. Salwa pake baju ini.” Jawabku sambil berdiri
memperlihatkan baju yang ku kenakan. Kulihat ada raut heran di wajah mama.
“kenapa mah? Apa ada yang salah dengan dandanan Salwa?”
Muka mama masih terlihat serius. Kemudian ia tersenyum. “hmmh, anak
mama yang satu ini memang tidak berubah. Bahkan sudah dewasapun masih saja
menggunakan dandanan sederhana. Tidak seperti gadis-gadis lain yang sering mama
lihat. Kamu selalu terlihat anggun walau tanpa makeup.” Ini untuk yang kesekian kalinya mama memujiku. “Terimakasih Ya Rabb,
KAU telah menganugerahkanku bidadari secantik ini. Semoga KAU selalu
melindunginya dari segala macam godaan ataupun bujuk rayu syaiton di dunia yang
fana ini.” Do’a mama sembari menengadahkan kedua tangannya ke atas.
“Amin ya Rabb..” ku dekati mama kemudian mulai memeluknya. “tapi mama
terlalu berlebihan. Oh iya mah, papa mana? Ko dari tadi Salwa ngga liat papa?”
“papa lagi di mesjid, sayang.” Ucapnya sambil membelai kepalaku yang
terbalut jilbab.
Mendengar jawaban mama aku hanya bisa meng’oh’kan tanpa berkata-kata
lagi. Itulah papa, selalu mencoba menunaikan kewajibannya sebagai seorang
muslim tepat pada waktunya dan tepat pada tempatnya selagi papa masih sehat.
Aku jadi teringat kata-kata papa saat aku melarangnya ke mesjid karena ia
sedang sakit.
“Papa ngga apa-apa ko, Salwa. Ini hanya sakit biasa, toh Papa masih
bisa jalan kan? Apalagi jarak dari rumah ke mesjid kan cuma dua ratus meter.
Sakit bukan berarti menghalangi niat kita untuk berjalan ke rumah Allah. Hanya
karena sakit bukan berarti kita harus bersantai ria menanti pertolongan Allah.
Selagi kita masih bisa berjalan, selagi kita masih bisa berdiri, bahkan selagi
kita mempunyai niat maka jika Allah menghendaki maka itu tidak akan menjadi
masalah yang berarti.”
Papa
memang sosok yang bijaksana bagiku. Sama bijaksananya dengan mama. Aku
bersyukur mempunyai kedua orang tua seperti mereka.
Tak
terasa waktu Asar telah berlalu. Shalat Asarpun telah aku tunaikan berjama’ah
dengan mama. Kini aku dan mama sibuk menyiapkan hidangan untuk tamu yang
katanya akan bersilaturahmi ke rumah kami.
“mah,
emangnya siapa sih yang mau bersilaturahmi kesini?” tanyaku membuka percakapan.
Mama
hendak menjawab, namun terdengar suara orang mengucap salam dari arah pintu
depan.
“Assalamu’alaikum.”
Ucapnya lantang.
Aku
mengenali suara itu. Siapa lagi kalo bukan papa. Suara dari seorang pemimpin
keluarga yang bijaksana. Tapi sepertinya papa tidak sendiri. Terdengar suara
orang berbincang di depan pintu rumah kami.
“Wa’alaikumsalam..”
serempak aku dan mama menjawab bersamaan.
Mama
melangkah pergi untuk membukakan pintu. Setelah pintu dibuka terdengar gelak
tawa menggelegar di ruang tamu. Aku
masih sibuk membuatkan teh manis hangat untuk disajikan kepada mereka. Usai
sudah aku membuatnya, ku tata di atas baki, sejurus kemudian aku bersiap
melangkahkan kaki untuk menjamu tamu-tamu mama dan papa.
~glek~
Kutelan
liurku sendiri begitu aku melihat siapa yang ada di ruang tamu. Ustad Shidiq? Bu Alfiah? dan..... lagi-lagi
aku terenyak kaget. Jantungku kembali berdegup kencang. Tanganku gemetar,
begitupun dengan baki berisi beberapa cangkir teh manis hangat juga turut
bergetar. Sebisa mungkin kucoba untuk mengusir ketegangan ini. Tapi... Astaghfirullah! Dia... ikhwan itu...
Fauzankah?
Aku
masih berdiri mematung dekat ruang tamu. Mencoba menenangkan diri. Aku kembali
dikagetkan oleh panggilan mama yang sedari tadi mengetahui kediamanku.
“Salwa!”
panggil mama yang masih duduk dekat papa di hadapan tamu-tamu itu. “Kesini
nak.”
Kubuang
nafas secara perlahan. Bismillah.
Seruku dalam hati. Akupun melangkah sebagaimana mestinya. Kuletakkan cangkir-cangkir
itu di meja. Kemudian ku cium punggung tangan Bu Alfiah, dan ku rapatkan kedua
tangan ini sembari mengangguk pada Ustad Shidiq dan Fauzan.
Ustad
Shidiq dan Bu Alfiah tersenyum melihatku. Senyum yang menenangkan jiwa dan
hangatnya tatapan mereka menghilangkan rasa gundah di hati. Namun, saat kutatap
Fauzan sekilas terlihat bibirnya sibuk berdzikir. Dua detik kemudian ia bangkit
dari menunduknya dan kami beradu pandang. Dengan sigap aku langsung menundukkan
muka. Begitupun dengannya. MasyaAllah.
Hatiku terus berdesir tak menentu. Perasaanku semakin tak karuan.
Akhirnya
Ustad Shidiq mulai mengutarakan tujuannya bersilaturahmi kesini.
“Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh...” ucapnya yang langsung disambut dengan jawaban
salam kami. “jadi, seperti yang sudah kami rencanakan. Kedatangan kami adalah
untuk mempererat tali persaudaraan sesama muslim.”
Papa
hanya mengangguk-angguk menanggapi pernyataan Ustad Shidiq. Fiuh! Syukurlah. Ternyata ini hanya
pertemuan biasa untuk mempererat tali persaudaraan. Aku membatin. Lega
rasanya.
“namun,
alangkah baiknya jika hubungan persaudaraan ini dieratkan dengan ikatan suci
antara anak-anak kita yang sudah sama-sama dewasa.” Lanjut Ustad Shidiq yang
langsung membuat jantungku kembali berdetak cepat. “jadi, langsung saja bahwa
maksud lain dari kedatangan kami kesini... Bismillahirrahmanirrahiim
yaitu untuk melamar putri dari Ustad Yusuf yang tak lain adalah nak Salwa untuk
dijadikan seorang istri bagi anak kami.”
~deg!!~
(Fauzan)
Abi ingin melamar Salwa untuk
siapa? Untukku kah? Ya Rabb.. Jika memang Salwa adalah jodohku maka tautkanlah
hatinya untukku tanpa berpaling dari hatiMU. Batinku terus
berkecamuk mendengar pernyataan abi. Entah aku senang atau apa. Yang jelas hati
ini terus berharap semoga memang dugaanku benar. Semoga Abi memang melamar
Salwa untukku.
(Salwa)
Ya Rabb! Apa ini? Apa yang baru
saja aku dengar dari Ustad Shidiq? Apakah ia melamarku untuk Fauzan?
Subhanallah... wahai Pemilik hati yang kekal, jika memang KAU menakdirkan
Fauzan sebagai jodohku maka satukanlah hati kami dengan segenap cinta yang
tetap berpegang teguh padaMU. Kupejamkan mata dan
terus berdzikir diantara percakapan demi percakapan yang dilontarkan oleh kedua
orang tuaku juga orang tua Fauzan.
“Alhamdulillah..”
sahut papa mengucap syukur. “kedatangan Ustad Shidiq beserta keluarga sekalian
kami terima dengan senang hati. Dan kami ucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya karena Ustad beserta keluarga berkenan untuk melamar Salwa
putri kami. Namun dengan segala kerendahan hati, kami selaku orang tua hanya
bisa memasrahkan keputusan ini kepada putri kami. Karena dialah yang akan
menjalaninya, dan kami menghargai semua keputusannya. Jadi, bagaimana
menurutmu, nak?”
Papa
begitu bijaksana. Sehingga ia rela menyerahkan segala keputusannya padaku.
Dalam hati ingin sekali kujawab, “Ya Pa,
atas izin Allah yang Maha Kuasa.. dan dengan menyebut nama Allah, Salwa terima
lamaran ini jika memang ini jalan yang Allah berikan untuk Salwa. Semoga Allah
meridhai kita semua. Amiin.”
Aku
terdiam beberapa lama. Bibir ini terasa kelu dan kaku untuk mengucapkan kalimat
yang sedari tadi bermunculan dari hati.
(Fauzan)
Ya Allah, dzat yang maha mengetahui
segala isi hati manusia. Berikanlah Salwa kemudahan untuk menjawab lamaran ini.
Bukakanlah hatinya untukku. Sehingga ia mampu memberi jawaban yang sesuai
dengan harapan hamba. Semoga ia memang bidadari yang KAU ciptakan untukku.
Untuk mengarungi bahtera cinta yang suci yang berlabuh di lautan cintaMU. Tapi,
jika memang Salwa bukan jodohku, maka lapangkanlah hati ini untuk menerima
semua keputusan pahit yang hendak ia sampaikan pada kami. Semoga ia menemukan
seseorang yang telah KAU tulis sebagai jodohnya. Seseorang yang Shaleh yang
mampu menjaga kesucian cintanya untukMU. Aku terus menunduk.
Tak berani aku mengangkat wajah untuk menyaksikan dan mendengarkan jawaban dari
Salwa.
“Oh
ya, nak Salwa.” Potong abi di sela-sela keheningan ruangan yang menanti jawaban
Salwa. “kami tegaskan sekali lagi, bahwa kami melamar nak Salwa untuk putra
kami yang pertama Arkaan Faishal Khalil.”
Ya Allah, benarkah yang abi ucapkan
tersebut? Abi ingin melamar Salwa untuk akhunku Arkaan?
Aku nyaris tak berdaya mendengar pernyataan abi kali ini. Otot-ototku terasa melemah
seketika itu juga. Benar-benar tak sangggup menahan kenyataan ini. Kuatkanlah aku Ya Rabb, sungguh ini semua
atas kuasaMU. Sesungguhnya aku tak mampu menghindar dari takdirMU.
Tiba-tiba rasa haus melanda tenggorokanku. Perlahan kuambil cangkir berisi teh
manis hangat yang tadi disediakan Salwa untuk kami. Aku mengangguk pada mereka
sebagai permintaan izin untuk meminum apa yang mereka hidangkan. Bibir ini
bergetar hebat. Seakan tak sanggup menahan gejolak ini. Tapi di sisi lain aku
bersyukur, karena setidaknya calon suami Salwa adalah akhunku sendiri yang aku
tahu betul sifatnya. Mungkin aku bisa merelakannya dengan akhunku. Namun yang
membuatku berat adalah jika suatu saat ia tinggal dengan akhunku di rumah kami.
Itu artinya aku akan selalu melihat dia bersama akhunku. Aku akan melihat
kebersamaan mereka di depan mataku sendiri. Itu artinya aku akan selalu
melihatnya dalam kegetiran hatiku.
Ya Rabb.. kuatkan aku untuk
menghadapi kenyataan ini. Semoga Salwa bisa memberikan jawaban yang terbaik
yang sesuai dengan isi hatinya.
(Salwa)
Aku
terdiam beberapa saat. Mencoba meyakinkan apa yang kudengar barusan. Tapi aku
yakin, aku tidak salah dengar. Apa yang baru saja diucapkan oleh Ustad Shidiq
membuat hatiku nyaris tersayat. Perih di batin ini benar-benar tak bisa
tertahankan. Sulit untuk menerima kenyataan bahwa Ustad Shidiq melamarku bukan
untuk Fauzan, tapi untuk Arkaan. Kakak Fauzan yang setahuku dia sedang
bersekolah di Ain Syams juga. Dan kini ia hampir menyelesaikan study S2nya
disana. Aku memang tahu semua tentang dia. Karena mama selalu menceritakannya
padaku. Namun, walaupun aku tahu semua tentangnya, aku sama sekali belum pernah
melihat wajahnya.
Kini
aku benar-benar dilanda kebingungan yang amat sangat. Jawaban apa yang harus
aku beri pada mereka? Sedangkan ini tak sesuai dengan harapan dan kemauan
hatiku. Kupejamkan mata, kurasakan peluh dingin membanjiri dahiku. Ya Allah, berikan aku kekuatan untuk
menerima semua kenyataan ini. Berikan aku kemampuan untuk menjawab lamaran ini
dengan tanpa menyakiti hati seorangpun hambaMU. Kuserahkan semua rizki, hidup
dan matiku, serta jodohku hanya padaMU. Aku yakin bahwa KAU telah menyiapkan
sesuatu yang indah untukku di balik pilihan yang KAU berikan padaku. Kali ini
kupasrahkan hatiku padaMU. Mantapkan hatiku Ya Rabb.
Semua
masih diam menanti jawabanku. Suasana sedari tadi hening. Hanya suara orang
yang berlalu lalang di luar yang hanya terdengar. “Bismillahirrahmanirrahiim...
dengan menyebut nama Allah, saya ucapkan syukran karena Ustad dan keluarga
telah berkenan untuk melamar saya sebagai istri dari putra Ustad sendiri, namun
saya mohon maaf sebelumnya.” Aku diam sejenak. Kutundukkan kepala. Mencoba
mengatur napasku yang terasa berat. “saya tahu dan saya yakin bahwa jodoh saya
telah digariskan oleh Allah Swt. Dan saya tahu hukum menyegerakan pernikahan
sangatlah baik agar terhindar dari jerat nafsu syaiton. Dengan segala
kerendahan hati, saya ingin mengajukan satu permintaan pada Ustad dan Bu
Alfiah.”
“baik,
apa itu nak?” tanya Bu Alfiah dengan mimik penasarannya. Kulihat semua yang ada
di ruangan merasa tegang menanti permintaanku.
“saya
akan sangat bahagia jika Ustad dan Bu Alfiah berkenan untuk memberi saya waktu
untuk meyakinkan diri saya agar tidak ada penyesalan dikemudian hari. Mohon
beri saya waktu selama tiga hari. Saya perlu shalat Istikharah untuk meminta petunjuk pada Dzat yang Maha Kuasa. Dan
saya ingin memantapkan diri untuk ini.” Kembali aku terdiam. “semoga Ustad dan
Bu Alfiah berkenan menerima dan mengabulkan permintaan saya.”
Papa
dan mama tersenyum. Begitupula dengan Ustad Shidiq dan Bu Alfiah. dengan
lapang, akhirnya mereka menyetujui dan mengabulkan permintaanku. Aku hanya bisa
tersenyum dibalik ratapan luka hatiku.
^_^
................................
Dua
bulan sudah cerita itu berlalu. Walau dulu aku sempat tak percaya dengan
jawabanku sendiri. Walau dulu aku merasa telah menzalimi diriku sendiri dengan
jawaban yang benar-benar jauh dari keinginan hatiku. Tapi berkat kekuatan yang
Allah berikan padaku, akhirnya aku mampu berdiri hingga detik ini bahkan di
tempat yang mungkin didambakan oleh semua orang.
Kini
aku merasa menjadi orang yang sangat bahagia diantara orang-orang yang
berdatangan menyalami kami. Ya, kami. Kami duduk di singgasana suci bak Raja
dan Ratu. Banyak dari segelintir orang yang menyalami kami mengatakan bahwa
mereka iri melihat kami yang mereka anggap kami adalah pasangan serasi. Seorang
akhwat yang shalehah bersanding dengan seorang ikhwan yang shaleh. Begitu kata
mereka.
Kini
aku tidak pernah menyesali jawabanku saat lamaran itu dulu. Akupun bisa
menerima ungkapan hati dari ikhwan shaleh yang sekarang duduk bersanding
denganku yang kini juga telah sah sebagai suamiku.
***
.........................................
Aku
sempat tak percaya dengan mimpi-mimpiku dua bulan yang lalu. Mimpi yang
membuatku ingin cepat-cepat pulang menemui abi dan ummi di Indonesia. Mimpi
yang selalu mempertemukanku dengan bayangan seorang akhwat yang bahkan aku
tidak tahu siapa dia. Mimpi yang hadir setelah abi dan ummi memberitahuku bahwa
mereka akan meminangkan seorang akhwat shalehah untukku.
Memang
tak masuk akal. Aku selalu memimpikan bayangan akhwat itu bahkan dalam mimpiku terkadang
hanya terdengar suara seorang akhwat yang merdu saat tilawatil Qur’an. Subhanallah! Aku begitu terpesona dan
jatuh hati pada suara seorang ahwat yang datang di mimpiku itu. Tapi, Ya Allah, aku tidak boleh membiarkan rasa
yang menggebu-gebu ini agar tidak menjadi nafsu belaka. Aku harus bersabar atas
rasa ini. Ya Rabb, jika sekiranya KAU memang menakdirkan akhwat itu untukku
maka biarkanlah aku melabuhkan hatiku padanya tanpa berpaling dari kasihMU. Aku
percaya bahwa KAU telah mengatur jodohku. Itulah do’a yang kupanjatkan saat
aku shalat istikharah untuk menemukan petunjuk dariNYA.
Benar
saja. Do’a ku telah terjawab. Maha Suci Allah, yang telah menakdirkan bidadari
shalehah ini untukku. Sehari setelah kepulanganku ke Indonesia, abi langsung
mengajakku untuk bersilaturahmi ke rumah Ustad Yusuf yang tak lain adalah ayah
dari akhwat itu. Aku telah mengetahui bahwa akhwat itu telah menerima
pinanganku walaupun ia belum pernah melihatku. Abi pernah memberitahuku
jawabannya, ia bilang akhwat itu yakin bahwa Allah telah menakdirkannya
untukku. Saat itu aku hanya tersenyum mendengar cerita abi. Subhanallah. Kini akupun yakin bahwa
ialah jodoh yang digariskan Allah untukku.
Aku
begitu takjub saat aku bertemu dengan akhwat itu dalam acara silaturahmi
keluargaku dengan keluarganya. Sosoknya begitu mirip dengan bayangan yang
muncul di mimpiku saat aku masih di Ain Syams. Suaranya yang lembutpun serupa
dengan suara akhwat yang bertilawatil Qur’an dalam mimpiku. Saat itu pula, kami
langsung menentukan tanggal akad nikah yang rencananya akan dilaksanakan
bersamaan dengan walimatulnya.
Tiba
saatnya kini kami bersanding di singgasana cinta dengan perasaan bahagia. Tak
pernah terbayangkan aku bisa duduk di samping seorang akhwat shalehah yang
banyak diidam-idamkan oleh para lelaki shaleh. Terimakasih ya Allah.. KAU telah memperkenankanku melabuhkan hati dan
cintaku untuknya. Semoga kami bisa menjalani bahtera cinta ini dengan tetap
berpegang teguh padaMU. Semoga kamipun bisa menjadi keluarga yang sakinah,
mawadah, dan warahmah. Amin Ya Rabb. (Arkaan Faishal Khalil)
............................................
Hatiku
mungkin sesak. Entah apa yang kurasakan sekarang. Haruskah aku bahagia dengan pernikahan akhunku? Atau haruskah aku
menderita di atas kebahagiaan akhunku? Kucoba tenangkan jiwa dan pikiranku.
Kutepis kuat-kuat asa yang masih bersemayam di palung hati. Ya Allah, lapangkan hatiku untuk bisa
menerima kenyataan ini. Kuharap semoga KAU memberikanku jodoh yang sama
shalehahnya dengan Salwa. Jika ini memang kehendakMU, kupasrahkan hatiku
padaMU. Semoga akhun Arkaan dan Salwa akan selalu menjadi keluarga yang
sakinah, mawadah, dan warahmah. Amin. (Fauzan Adwa’ Daffa)
.............................................
Subhanallah. Begitu bercahayanya
wajah ikhwan yang kini telah menjadi suamiku ini. Terlihat sekali jiwa
kepemimpinannya. Senyumnya sangat bersahabat. Persis seperti namanya Arkaan
Faishal Khalil yang berarti “pemimpin yang bersahabat juga sebagai pemisah
antara yang haq dan yang batil”. Pujiku dalam hati
memperhatikan kealimannya. Aku bersyukur betapa Allah telah menjodohkan kami
untuk menjadi pasangan yang melabuhkan cinta hanya kepadaNYA. Semoga pernikahan
ini diridhai oleh Allah Swt dan menjadi berkah. Amin. (Salwa Hauraa Muslimah)
Ya
Allah,
jadikanlah pernikahan kami pernikahan yang barakah
pembuka pintu rahmat bagi kami, keluarga kami dan ummat
penyempurna keislaman kami
tungku tempat kami menempa sabar dan syukur
sekolah tempat kami belajar menjadi dewasa
jalan kami menggapai cinta-Mu
jadikanlah pernikahan kami pernikahan yang barakah
pembuka pintu rahmat bagi kami, keluarga kami dan ummat
penyempurna keislaman kami
tungku tempat kami menempa sabar dan syukur
sekolah tempat kami belajar menjadi dewasa
jalan kami menggapai cinta-Mu
(kata-kata terakhir dikutip dari :http://ervakurniawan.wordpress.com/doa-dan-harapan-pernikahan )
Arti Kata :
1. Afwan : Maaf
2. Akhun :
Kakak kandung laki-laki
3. Akhwat :
Perempuan
4. Ba’da : Setelah
5. Ikhwan : Laki-laki
6. Liqa’ :
Pertemuan
7. Syukran : Terimakasih
8. Tilawatil
Qur’an : Membaca Al-Qur’an dengan
irama yang indah
Alhamdulillah
Selesai.
Julia Puspitasari
0 comments:
Post a Comment
Let's Leave a Comment Politely, Friends! ^_^