Riuh.
Suara gemericik air dari luar kamarku jelas mengiang di telingaku. Hujan,
kilat, dan........ mungkin guntur. Namun
untunglah guntur itu belum juga terdengar setelah beberapa sambaran cahaya
kilat. Aku terpaku menatap diriku sendiri di cermin. Aneh. Seperti ada sesuatu
yang hilang dari diriku. Tapi apa? Ya. Sudah jelas ada sesuatu yang lenyap dari
kehidupanku. Canda tawa dari sahabat terbaikku.
Hilang ditelan takdir.
“Reyhan...”
Ujarku lirih.
Terakhir
kali yang kulihat hanya senyuman dalam diamnya, dengan mata indahnya yang
terkatup membeku. Ya Rabb. Rasanya baru kemarin aku dibuat jengkel
olehnya. Yaa.. apa lagi alasannya kalau bukan karena dia
menertawaiku gara-gara ketakutanku pada guntur.
**#**
~~~~~... /_ ...~~~~~
~~~~ /
~~~~~
“Aaaa.. Subhanallah Subhanalah Subhanallah....”
Pekikku seperti anak kecil sembari menutupi kedua telingaku rapat-rapat. Aku terbungkuk
ngeri di atas sofa. Semua orang yang berkumpul di ruang keluarga langsung
terdiam seketika itu juga. Ayah, Ibu, A Akbar dan Reyhan lagi-lagi hanya
memandangiku dengan tatapan heran. Aku masih sibuk dengan ketakutanku pada
guntur. Bukan takut sih sebenernya, aku pikir ini cuma sebuah keterkejutan
jangka panjang aja kok. Hening. Mereka masih memandangiku. Aku yang saat itu
merasa jadi perhatian mereka, sontak mendongak perlahan dengan innocent faceku. Tiba-tiba......
“Hahahahaha....” Reyhan tertawa lepas
melihatku sambil sesekali berhenti dan kemudian melanjutkan tawanya kembali.
Reyhan terus terbahak. Ayah, Ibu dan A Akbarpun tak mau ketinggalan ikut
mentertawaiku. “Hahahahaha.... Aisyah.... Aisyah....” Gelak tawa mereka mulai
memenuhi segala penjuru ruangan. Aku tetap dalam innocent faceku. Mereka terus dan terus terbahak tanpa
memperdulikanku. Yah, memang selalu seperti ini.
Kupasang muka merengut. Aku kesal dengan
cara mereka mentertawaiku. Apalagi liat si Reyhan. Uhf!
“Aisyaaah... Aisyaah.. Dari dulu
ketakutan kamu sama guntur belum ilang-ilang juga ya..! Hahahaha...” Reyhan
terus mengolok-olokku.
“Kenapa emang? Salah kalo aku takut
guntur?” Tantangku sewot. “Lucu ya?” alisku mulai naik satu.
“Hahaha... iya, iya.. emang lucu!
Hahahaha!”
“Terus aja kalian ketawa sampe puas!
Huhft!” aku mendengus kesal dan kemudian berlalu pergi.
*****
~~~~~... /_ ...~~~~~
~~~~ / ~~~~~
Guntur kembali menggelegar membuat meja
rias dan kursi yang kududuki bergetar. Cukup kaget. Tapi, tidak. Kali ini
ketakutanku pada guntur sudah hilang sejak takdir memisahkanku dengan sahabat
terbaikku. Kini, aku bisa mendengar guntur itu dengan jelas tanpa harus
menutupi telingaku.
*****
Tiga hari setelah pemakaman itu, aku
kembali menjalani rutinitasku sebagai mahasiswi. Kuliah. Pulang pergi ke kampus
tanpa seseorang yang selalu menemaniku. Sedih rasanya. Tapi ini sudah menjadi Qodarnya.
Aku berjalan menyusuri koridor kampus
dengan menenteng buku-buku tebal untuk kuserahkan pada dosen. Kucoba berjalan
hati-hati meniti langkah demi langkah di atas lantai koridor yang licin.
Maklum, sekarang musim hujan otomatis lantai juga bisa jadi licin disebabkan
percikan air hujan itu. Hari ini kampus tidak terlalu ramai. Hanya beberapa
mahasiswa yang berlalu lalang di koridor. Mungkin banyak dari mereka yang bolos
karena malas jika harus menerobos hujan dan macet.
Setiap orang yang kulewati menatap iba
terhadapku.
“Turut berduka cita ya, Aisyah!” ujar
mereka mencoba menegarkanku. Aku hanya tersenyum dan megucapkan terimakasih.
Mereka benar-benar tau kedekatanku dengan Reyhan. Sudah seperti kakak dan adik.
Malah sampai ada yang mengira kami pacaran lah, saudara kembar lah, payah.
Hal itu membuatku melangkah tanpa
memperhatikan jalan karena terus diajak ngobrol oleh teman kampusku. Aku oleng
dan nyaris terpeleset karena licinnya lantai. Tapi untunglah itu tidak
membuatku tegelincir. Hanya saja beberapa buku yang ku tenteng jatuh berserakan
bersamaan dengan riuhnya gelegar guntur. Sedikit terkejut memang. Hati-hati
kubereskan buku-buku yang berserakkan dengan dibantu oleh Ikhsan, teman
sefakultasku yang saat itu melihatku.
“Hati-hati ya Aisyah.. Lantainya licin.
Mana kamu bawa bukunya banyak banget, tebel lagi. Emang mau diserahin sama
siapa sih?” Ikhsan membantuku dengan sedikit memperdulikanku.
“Iya nih, semua buku ini mau aku serahin
ke Bu Fatimah.” Jawabku seperlunya.
“ooh.. Ya Udah, aku bantu anterin ke Bu
Fatimah ya!”
Aku terdiam dengan pandangan menyelidik
ke arah koridor di sebelah kananku. Aneh. Aku merasa ada seseorang yang
memperhatikanku dari kejauhan. Aku hanya melihat seorang lelaki menyendiri di
arah koridor yang ku selidiki.
“Syah... Aisyah...” Panggil Ikhsan yang
cukup lama tak mendapatkan respon dariku.
“eh, oh.. eng, i-iya” Jawabku terbata.
Seakan mengerti, Ikhsan mengikuti arah pandanganku.
Ia tersenyum. “oooh... Ikhwan itu....!”
sahutnya mengerti. “Namanya Anwar dari fakultas sastra Arab. Yuk, kita kesana.
Nanti aku kenalin.”
“Hah?!....” aku hanya melongo sambil
kemudian mengikuti langkah Ikhsan. Sepertinya Ikhsan salah menerka. Bukan itu
maksudku, sepertinya aku melihat laki-laki selain yang ditunjuk oleh Ikhsan.
Kami semakin dekat dengan laki-laki yang
Ikhsan maksud. Laki-laki itu hanya tersenyum ke arah kami. Akhirnya kami sampai
dihadapanya. Lelaki itu, Anwar maksudku. Ia lantas bercakap-cakap beberapa
detik dengan Ikhsan dengan menggunakan bahasa Arab yang tak banyak ku mengerti.
Maklum, aku hanya mahasiswi fakultas sastra Inggris jadi aku tidak terlalu
paham menggunakan bahasa Arab untuk sekedar bertegur sapa.
“eh, iya sampai lupa. Anwar, kenalin ini
ukhti sastra Inggris namanya....” Ikhsan memperkenalkanku dengan Anwar.
“Aisyah..!” Potong Anwar seolah telah
mengenalku.
“ya, saya Aisyah.” Jawabku heran.
“kok, antum udah tau kalo ini Aisyah?”
tanya Ikhsan sama herannya denganku.
“tau aja.” Sahut Anwar dengan memamerkan
senyum santainya.
Sebentar,
sebentar. Sepertinya aku pernah melihat Anwar. Tapi dimana? Wajahnya juga cukup
familiar. Sedikit mirip dengan.... siapa ya?! Aku malah sibuk dengan pikiranku
sendiri. Ya. Aku pernah melihatnya di pemakaman Reyhan. Dan wajahnya..... juga
sedikit mirip dengan Reyhan. Tapi.....
“Dia itu kakak sepupuku...” Seolah ada
sesuatu yang berbisik ditelingaku. Ya, Benar. Reyhan pernah menceritakan padaku
tentang kakak sepupunya yang kuliah di fakultas sastra Arab.
Ah..
melihatnya hanya akan mengingatkanku pada Reyhan. Aku kembali
terdiam sesaat ketika gemuruh guntur kembali terdengar. Aku sudah berada
dihadapan Anwar, tapi kenapa aku masih merasa ada seseorang yang
memperhatikanku. Ah, sudahlah! Mungkin
ini hanya pengaruh dari perlawananku terhadap ketakutanku pada guntur.
“Ukhti Aisyah kenapa?” tanya Anwar lagi-lagi
mengejutkanku.
“eng.. engga, ngga kenapa-napa.” Aku
tersenyum. “udah yuk, San. Takutnya ditungguin Bu Fatimah.” Ajakku pada Ikhsan.
Ikhsanpun mengangguk dan kembali
berpamitan pada Anwar dengan menggunakan bahasa Arab. Ikhsan memang bukan dari
fakultas sastra Arab, tapi ia mengerti banyak tentang bahasa Arab. Jadi ya
wajarlah kalau dia lumayan fasih berbahasa Arab. Aku dan Ikhsan melenggang
pergi setelah berpamitan pada Anwar.
*****
Sore ini aku sedikit pulang terlambat karena
harus menyelesaikan beberapa tugas dari dosenku. Aku tak tahu kenapa
akhir-akhir ini aku terus merasa seperti ada yang memperhatikanku. Menatap sayu
padaku. iih... bulu kudukku berdiri.
Waktu pada Arlojiku menunjukkan pukul
05.00 PM. Hujan masih belum reda. Kuterobos hujan menuju ke halte dengan
melindungi kepalaku menggunakan tas. Huh! Jilbabku sedikit basah. Tapi tak apa
lah dari pada basah kuyup. Halte cukup lengang. Hanya ada 5 orang ditambah
denganku. Dalam keadaan hujan seperti ini, ingatanku kembali menerawang ketika
Reyhan mencandaiku tentang guntur. Ingin sekali mendengar tawa lepasnya lagi.
Aku rela walau harus ditertawai olehnya beribu kali. Tapi percuma, kini aku tak
bisa mendengar tawanya lagi. Hanya membayangkannya saja mungkin dapat mengurangi
rasa rinduku padanya. Rindu? Ya. Ternyata aku merindukannya. Merindukan Reyhan.
Sahabat terbaikku sekaligus seseorang yang kuharapkan kelak menjadi calon
imamku. Calon imam? Itu berarti aku
mengharapkan Reyhan untuk menjadi suamiku kelak. Artinya... aku mencintainya. Aku mencintai Reyhan.
Sahabat terbaikku. Lamunanku terhenti ketika kilat mulai menyambar kemudian
diiringi dengan guntur yang cukup keras. Kubuka mata lebar-lebar untuk melihat
hujan dan kilat dengan jelas. Dan kubiarkan telinga ini mendengar dengan jernih
suara guntur yang menggelegar. Berharap aku bisa mendengar tawa Reyhan lagi.
~~~~~... /_ ...~~~~~
~~~~ / ~~~~~
Guntur itu terus menggema, cukup membuat
penging telinga orang-orang yang ada di halte saat itu. Tapi tidak untukku. Aku
melihat ke arah mereka yang menutup telinganya. Dan lagi-lagi kulihat seseorang
berdiri mematung tanpa sepatah katapun yang ia ucapkan. Ia hanya tersenyum
dingin menatapku. Senyum yang tak asing bagiku. Tapi kenapa tak ada seorangpun
yang menghiraukan keberadaannya.
Aku diam. Masih terus menatap wajah
dengan senyum dingin itu dibalik gemuruh guntur. Dia terus tersenyum padaku.
Terngiang gelak tawa Reyhan dalam lamunanku.
“Reyhan...”
Hujan, kilat, guntur terus berpadu padan
saling berbaur menyisakan sebuah cerita. Sebuah tawa, sebuah senyum, dan sebuah
rindu dari palung hati yang terdalam. Subhanallah.
Kini keberanianku mulai tumbuh. Aku ingin menjadi sahabat guntur itu. Aku ingin
mendengarnya dengan jelas. Jelas di telingaku. Agar aku bisa medengar tawa itu,
agar aku bisa melihat senyum itu kembali. Walau hanya dalam angan, dalam
lamunan. Dan dalam cerita yang takkan pernah terulang kembali.
“Reyhan...”
Ternyata dia yang selalu tersenyum
dingin padaku saat guntur menelan bumi. Tenyata dia yang selalu memperhatikanku
saat guntur menggema. Reyhan, aku tak akan memekik seperti anak kecil lagi. Aku
berani. Bukan berani mendengar gelegar guntur, melainkan berani mendengar
alunan guntur yang bergema bersamaan dengan gemuruh rinduku.
~~~~~... /_ ...~~~~~
~~~~
/ ~~~~~
The End
0 comments:
Post a Comment
Let's Leave a Comment Politely, Friends! ^_^